1 / 50

HUKUM PIDANA SIFAT DAN TEMPAT HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah hukum sanksi istimewa.

HUKUM PIDANA SIFAT DAN TEMPAT HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah hukum sanksi istimewa. Sebagian besar sarjana hukum melihat hukum Pidana sebagai hukum publik yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum.

walter
Download Presentation

HUKUM PIDANA SIFAT DAN TEMPAT HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah hukum sanksi istimewa.

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. HUKUM PIDANA SIFAT DAN TEMPAT HUKUM PIDANA Hukum Pidana adalah hukum sanksi istimewa. Sebagian besar sarjana hukum melihat hukum Pidana sebagai hukum publik yaitu mengatur hubungan antara negara dan perseorangan atau mengatur kepentingan umum. Hukum Pidana ialah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar atau aturan-aturan untuk : Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau saksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Ramdhan Kasim, SH

  2. Van Apeldoorn : melihat dalam peristiwa pidana ( strafbaar feit ) suatu pelanggaran tata tertib hukum umum dan tidak melihat dalam peristiwa pidana itu suatu pelanggaran kepentingan-kepentingan khusus dari para individu. Oleh sebab itu penuntutan peristiwa pidana tersebut tidak dapat diserahkan kepada individu yang dirugikan oleh peristiwa itu, tetapi penuntutan tersebut harus dijalankan oleh pemerintah. Van Hamel : menjalankan hukum pidana itu sepenuh-penuhnya terletak dalam tangan pemerintah. Simons : Hukum pidana mengatur hubungan antara para individu dengan masyarakat sebagai masyarakat. Hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakat, dan juga hanya dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya. Penuntutan suatu peristiwa pidana terletak dalam tangan suatu alat negara yaitu dalam tangan Kejaksaan. Ramdhan Kasim, SH

  3. Pompe :Berlainan halnya dengan ganti kerugian dalam hukum privat, bagi hukum pidana kepentingan khusus para individu bukanlah suatu persoalan primer. Yang dititikberatkan oleh hukum pidana pada waktu sekarang adalah kepentingan umum. Perhubungan hukum yang ditimbulkan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan (seperti dalam hukum privat), tetapi perhubungan hukum itu bersifat suatu subordinasi dari yang bersalah pada pemerintah, yang bertugas memperhatikan kepentingan umum. Van Kan : Hukum pidana pada pokoknya tidak membuat kaidah baru. Hukum pidana tidak mengadakan kewajiban hukum yang baru. Hukum pidana pada hakekatnya hukum sanksi. Ramdhan Kasim, SH

  4. Hukum pidana biasa (umum)(communestrafrecht) seperti yang tercantum dalam antara lain KUHPidana dan yang berlaku bagi semua orang yang ada di wilayah Indonesia (terkecuali mereka yang mempunyai hak diplomat asing). Hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht): - dibuat untuk beberapa subyek khusus atau untuk beberapa peristiwa pidana tertentu. • memuat ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang menyimpang dari ketentuan-ketetuan dan azas-azas yang tercantum dalam peraturan-peraturan hukum pidana umum. • Hukum Pidana Fiskal : Kententuan-ketentuan pidana yang tercantum dalam UU mengenai urusan pajak negara ternasuk peraturan-peraturan yang mengatur keuangan negara. Ramdhan Kasim, SH

  5. Hukum Pidana Militer a. Berlakunya hukum pidana militer disinggung dalam pasal 102 UUDS. Ketentuan ini membedakan antara hukum pidana sipil dan hukum pidana militer. b. Ketentuan-ketentuan dan azas-azas yang menyimpang dari ketentuan dalam hukum pidana umum. c. Wetboek van Militer Strafrecht voor Indonesie, LNHB 1934 Nr 167 dan LNHB 1934 r 168 yang mengatur hukum disiplin tentara. d. UU No. 3/PNPS/1965 tentang Memperlakukan Hukum Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara. • Hukum Pidana Ekonomi. Berhubungan dengan perkembangan negara dan dunia ke arah yang lebih sosialistis, maka turut serta pemerintah dalam lapangan perekonomian makin lama makin bertambah. - Penyelengaraan peraturan per-UU-an berkaitan dengan ekonomi dapat menggangu penghidupan ekonomi rakyat (UU o. 7/Drt/1955). - Azas-azas dalam delik ekonomi berbeda dengan azas-azas pidana umum. - Hukum pidana ekonomi terdapat perbedaan dengan pidana umum. Ramdhan Kasim, SH

  6. Hukum Pidana Politik. Kejahatan-kejahatan yang sangat dapat membahayakan penghidupan rakyat seluruhnya. - Menghianati rahasia negara kepada luar negeri, merencanakan, mempersiapkan dan mengusahakan pemberontakan terhadap pemerintah yang sah, merencanakan, mempersiapkan dan menjalankan sabotage dll. - Delik-delik politik disinggung oleh hukum titel I - V Buku II (pasal 104 – 181). - Diperlukan ukuran-ukuran yang lebih berat dari pada ukuran biasa dalam mempertimbangkan dijatuhkan hukuman ) lebih berat), seperti : - Penpres No. 11/1963 jo UU No. 1/PNPS/1963 tetang Pemberantasan Kegiatan Subversi. - Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan tindak pidana Terorisme pada peristiwa peledakan bom Bali. Ramdhan Kasim, SH

  7. Hukum Pidana Komunal (daerah) • Dibuat oleh Pemerintah Daerah TK I dan TK II adalah akibat logis dari kekuasaan membuat peraturan umum untuk mengurus sendiri rumah tangganya. • Hukum pidana yang dibuat hanya dipakai sanksi atas pelanggaran peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemda sendiri. • Termasuk hukum pidana sipil, namun hanya dihadapkan dengan masalah-masalah tersendiri yang ditimbulkan dalam masyarakat daerah. • Bukan hukum pidana khusus walaupun dihadapkan dengan masalah-masalah sendiri dan tidak mengandung azas-azas pidana yang menyimpang dari azas-azas pidana umum. • Terikat oleh ketentuan dalam pasal 103 KUHP. • Hukuman atas pelanggaran peraturan pemda hanya bersifat pelanggaran saja. Ramdhan Kasim, SH

  8. Hukum Pidana dapat dibagi : • Hukum Pidana Obyektif (Ius Punale) ialah semua peraturan yang mengandung keharusan dan larangan,terhadap pelanggaran mana diancam dengan hukuman yang bersifat memaksa. a. Hukum Pidana Materiil ialah peraturan-peraturan yang menegaskan : 1). Perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum. 2). Siapa yang dapat dihukum. 3). Dengan hukum apa menghukum seseorang. b. Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana). 2. Hukum Pidana Subyektif (Ius Puniendi) ialah hak negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan hukum pidana obyektif yang berarti bahwa tiap orang dilarang untuk mengambil tindakan sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana (perbuatan hukum delik). 3. Hukum Pidana Umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap setiap orang kecuali anggota ketentaraan, 4. Hukum Pidana Khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu. Ramdhan Kasim, SH

  9. Menurut Beysens pemerintah diberi Ius Puniendi, ialah : • Pada azasnya negaralah yang berhak dan berkewajiban menjatuhkan hukuman. Sesuai dengan sifat negara dan sesuai dengan kodrat alam manusia,diberi hak untuk membalas pelaggaran tersebut dengan menjatuhkan suatu kerugian untuk pelanggar. • Hukuman yang dijatuhkan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela dengan sendirinya bersifat pembalasan. • Pada umumnya negara hanya dapat atau harus menghukum perbuatan-perbuatan yang : a. ditinjau dari sudut obyektif (dan menurut hukum publik) adalah perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib negara. b. ditinjau dari sudut subyektif adalah perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada yang melakukan perbuatan itu. • Beberapa azas-azas yang harus menjadi dasar prinsipil perbuatan itu : a. Negara itu suatu masyarakat. b. Negara adalah sesuatu yag mempunyai penjelmaan sendiri dengan sifat sendiri. Ramdhan Kasim, SH

  10. Susunan KUHPidana KUHP terdiri dari atas 569 pasal yang dibagi dalam tiga buku, yaitu : Buku I : Ketentuan-ketentuan umum (Pasal 1 – 103). Buku II : Kejahatan (Pasal 104 – 488). Buku III : Pelanggaran (Pasal 488 -569) Dalam buku I dimasukkan : • Azas-azas (hukum) pidana yang pada umumnya bagi seluruh lapangan hukum pidana positif, baik dalam KUHP maupun yang termuat dalam per-UU-an lainnya. • Pengertian-pengertian, seperti : - percobaan (poging) pasal 53-54 KUHP. - turut serta (deelneming) pasal 55-62 KUHP. - gabungan (samenloop) pasal 63 – 71 KUHP. 3. Mengatur tentang hukuman pidana. Ramdhan Kasim, SH

  11. KEJAHATAN DAN PELANGGARAN Memorie van Toelichting : pembagian delik dalam “kejahatan” dan “pelanggaran” itu sebagai suatu pembagian azasi (prinsipil). Van Andel, Creutzberg : Kejahatan (crimineel onrecht) adalah perbuatan yang karena sifatnya bertentangan dengan ketertiban hukum (delik hukum = jika perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas pada hal apakah azas-azas tersebut dicantumkan atau tidak dalam UU). Pelanggaran(politie onrecht) adalah perbuatan-perbuatan yang seharusnya dikenai hukuman tetapi UU pidana tidak menyebutnya sebagai delik (delik UU = perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan dalam UU Pidana, terlepas dari pada hal apakah perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan kesadaran hukum dari rakyat. Ramdhan Kasim, SH

  12. Pelanggaran adalah perbuatan yang hanya formill tidak halal. Perbuatan tidak halal karena UU mencapnya sebagai perbuatan yang tidak halal (Von Liszt). Kejahatan itu sebagai perbuatan yang melanggar “kulturnormen”, sedangkan peraturan-peraturan “verwaltungsstrafrecht” (hukum pidana administratif) dapat dianggap sebagai “kulturell indefferent” (Binding). Kejahatan itu sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan ke-Tuhanan dan hukum Tuhan. Pelanggaran boleh dilihat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum (publik) yang dibuat manusia (Gewin). Ramdhan Kasim, SH

  13. Ramdhan Kasim, SH

  14. SEJARAH HUKUM PIDANA TERTULISDI INDONESIA Zaman VOC • Bagi penduduk asli di Indonesia berlaku : - Hukum Pidana Adat. - VOC mula-mula diberlakukan Plakat-plakat yang berisi hukum pidana. • Tahun 1642 dirampungkan himpunan plakat-plakat yang diberi nama Statuten van Batavia. Yang kemudian pada tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventen (peraturan-peraturan yang berlaku didaerah dikuasai VOC adalah : - Hukum Statuta yang termuat di Statuten van Batavia, - Hukum Belanda kuno, - Azas-azas hukum Romawi (berlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (slaven recht). • Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya. • Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC. Ramdhan Kasim, SH

  15. Tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis. • Tanggal 10 Februari 1866 berlaku dua KUHP di Indonesia. - Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Stbl 1866 No 55) yang berlaku bagi gol Eropah adalah salinan Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas dua buku, Sedangkan Code Penal terdiri atas empat buku. - Dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872, berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada tahun 1918. - Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daarmedegelijgestelde (Stbl No 85) mulai berlaku 1 Januari 1873. Ramdhan Kasim, SH

  16. Zaman Hindia Belanda • Tahun 1611-1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke Inggeris. • Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan, maka hukum dasar pemerintah kolonial tercipta. • Dikeluarkannya Proklamasi 19 Agustus 1816 (Stbl 1816 No 5) yang mengatakan bahwa untuk semetara waktu semua peraturan-peraturan bekas kolonial Inggeris tetap dipertahankan, yaitu masih berlaku Statuta van Batavia yang baru, dan untuk pribumi hukum pidana adat diakui asal tidak bertentangan dengan azas-azas hukum yang diakui, perintah-perintah dan UU. • Berdasarkan Stbl 1828 No 16, kepada bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang dibagi atas dua golongan, yaitu yang dipidana: - kerja rantai, - kerja paksa, yang : - diberi upah, dan - tidak diberi upah. Dalam prakteknya pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara yaitu: - kerja paksa dengan rantai dan pembuangan, - kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang, - kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang. Ramdhan Kasim, SH

  17. Pertama kali ada kodefikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya Crimineel Wetboek voor het Koniglijk Holland 1809, yang menurut ciri modern didalamnya, menurut VOS, yaitu: 1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana, 2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja, 3. Penghapusan perampasan umum. • Belanda terus berusaha mengadakan perubahan-perubahan, juga usaha menciptakan KUHP Nasional. - Pidana sistem sel yang berlaku dengan UU tanggal 28 Juni 1851 Stbl 68 dan diperluas dengan UU tanggal 29 Juni 1854 Stbl 102 : - pidana badan dihapus, - jumlah pidana mati dikurangi, - sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan, - pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan delik selesai. - 17 September 1870 Stbl 162, pidana mati dihapus. Ramdhan Kasim, SH

  18. Tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru dan diberlakukan tanggal 1 September 1886. • Berdasarkan azas konkordasi menurut pasal 75 Regerings Reglement,dan pasal 151 Indische Staatsregelig, KUHP di Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda dengan penyesuaian pada situasi dan kondisi setempat. • Dengan Koninklijk Besluit (K.B) tanggal 15 Oktober 1915 dan diundangkan LNHB 1915 No 752 (KUHP tahun 1915). • KUHP 1915 masih tetap berlaku dan belum diganti oleh KUHP Nasional Indonesia. Ramdhan Kasim, SH

  19. Zaman pendudukan Jepang • Berdasarkan UU (Osamu Serei) No 1 Tahun 1942, yang berlaku mulai 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura, WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang. • Dalam Osamu Serei No 3 Tahun 1942, Hukum Acara Pidana lebih banyak berubah, karena terjadi unifikasi acara dua susunan pengadilan. Zaman Kemerdekaan R.I. • Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945, keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan • Berdasarkan UU No 73 Tahun 1958, menyatakan berlakunya UU No 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian hilanglah dualisme berlakunya dua KUHP di Indonesia. Ramdhan Kasim, SH

  20. PENAFSIRAN UU PIDANA Pasal 1 ayat (1) KUHP “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam UU, yang terdahulu dari perbuatan itu” Azas “nullum delictum, nulla poenasine praevia lege poenali” (tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu peraturan yang terlebih dahulu menyebut perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan atas delik itu) Azas Legalitas (von Feurbach). Von Feurbach :Ancaman hukuman itu bersifat preventif (teoripsychologische Zwang) yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Ramdhan Kasim, SH

  21. Motesquieu : Melindungi individu terhadap tindakan hakim yang sewenang-wenang yaitu melidungi kemerdekaan dan pribadi individu terhadap suatu tuntutan yang dilakukan sewenang-wenang (Trias Politica). Beberapa keberatan terhadap azas nulum delictum : • Kurang melindungi kepentingan kelompok. • Menghindarkan dijalankannya hukum pidana adat. Di zaman Romawi dikenal Criminal Extra Ordinaria (kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam UU) Criminal Stellionatus yaitu perbuatan jahat, durjana. Diadakan kemungkinan untuk menggunakan hukum pidana itu secara sewenang-wenang menurut kehendaknya dan kebutuhan raja sendiri. Zaman Ancien Regime adalah zaman dimana memuncaknya reaksi terhadap kekuasaan yang mutlak dari raja-raja. Ramdhan Kasim, SH

  22. Moeljatno mengatakan bahwa azas legalitas mengandung tiga pengertian, yaitu : • Tiada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan UU. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas). 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Ramdhan Kasim, SH

  23. PENERAPAN ANALOGI Analogi (Kamus hukum) ialah kesamaan, suatu metode pengetrapan suatu UU dengan berpokok pangkal pada suatu azas hukum atau peraturan yang telah mempunyai pengertian tertentu. Menurut UU Jerman 28 Juni 1935 menetapkan analogi : seseorang dapat dipidana kalau suatu perbuatan diancam dengan pidana oleh UU atau menurut pikiran dasar suatu UU pidana dan menurut perasaan sehat dari rakyat patut dipidana. Pompe mengatakan penerapan analogi hanya diizinkan jika ditemukan adanya kesenjangan di dalam UU yang tidak dipikirkan (hal-hal yang dilupakan) atau tidak dapat dipikirkan (hal-hal yang baru) oleh pembuat UU dan karena itu UU tidak merumuskan lebih luas sehingga meliputi hal-hal itu dalam teksnya. Ramdhan Kasim, SH

  24. VOS mengatakan bahwa penerapan analogi tidak dizinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan UU secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat UU belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu. Paul Scholten menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara penerapan analogi dan penafsiran ekstensif, yaitu dicoba untuk menemukan norma-norma yang lebih tinggi dari norma yang ada lalu dideduksikan menjadi aturan baru. Perbedaan antara keduanya hanya bersifat gradual saja. Vam Hattum, menolak analogi dalam menentukan perbuatan pidana juga menolak tafsiran ekstensif. Ramdhan Kasim, SH

  25. Utrecht menarik garis pemisah antara interpretasi ekstensif dan penerapan analogi : • Interpretasi : menjalankan UU setelah UU tersebut dijelaskan. Analogi : menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan UU. • Interprestasi : menjalankan kaidah yang oleh UU tidak dinyatakan dengan tegas. Analogi : menjalankan kaidah tsb untuk menyelesaikan suatu perkara yang tidak disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengandung kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut Ramdhan Kasim, SH

  26. PASAL 1 KUHP Ayat (1) dan (2) membahas berlakunya UU Pidana berhubung dengan waktu delik dilakukan. Ayat (2) tentang waktu delik. Apabila UU diubah setelah dilakukan, maka terhadap yang bersangkutan dipakai aturan yang paling ringan. 3 macam teori yang membahas mengenai perubahan dalam per-UU-an, yaitu : • Teori Formil. Simons: baru boleh dikatakan perubahan dalam UU kalau redaksi (teks) UU Pidana diubah. • Teori Materiil terbatas. Van Geuns : tiap perubahan sesuai dengan suatu perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat UU. Jadi tidak boleh diperhatikan suatu perubahan karena waktu. • Teori Materiil tidak terbatas. Tiap perubahan, baik dalam perasaan hukum dari pembuat UU maupun dalam keadaan karena waktu, boleh diterima sebagai suatu perubahan dalam UU menurut arti kata Pasal 1 ayat (2). Ramdhan Kasim, SH

  27. Aturan yang paling ringan (menguntungkan) KUHP Belanda (1881) : yaitu tidak hanya mengenai hukuman saja, tetapi mengenai juga segala sesuatu yang mempunyai pengaruh atas penilaian sesuatu delik. Hoge Raad 25 Juni 1906 : Terserah pada praktek dan hanya dapat ditentukan untuk masing-masing perkara sendiri (inconcreto). Hal itu tidak dapat ditentukan secara umum (in abstrcto). Pengadilan tingkatan banding (Verzet) tentang pengecualian dalam pasal 1 ayat (2) : • Tidak dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu alat untuk mengoreksi pekerjaan hakim yang telah membuat suatu keputusan. • Dapat dipakai bila dilihat sebagai suatu proses (acara) baru. Tempus delicti (waktu delik) berhubungan dengan : • Berlakunya KUHP (Pasal 1 ayat (1)). • Hukum peralihan (Pasal 1 ayat (2)). • Lewat waktu (verjaring) (Pasal 78 dan 79 KUHP). • Pasal 45 KUHP. Ramdhan Kasim, SH

  28. BERLAKUNYA PER-UU-AN HUKUM PIDANA MENURUT TEMPAT TERJADINYA PERBUATAN Azas Teritorialitet Pasal 2 KUHP : “Aturan pidana dalam UU Indonesia berlaku terhadap tiap orang yang dalam Indonesia melakukan peristiwa pidana”. Yang menjadi ukuran : peristiwa pidana yang dilakukan dalam wilayah Indonesia. Bukan ukuran : pembuat ada di dalam wilayah Indonesia. Kesimpulan : • Dapat dilakukan suatu delik dalam wilayah Indonesia sedangkan pembuatnya ada di luar wilayah Indonesia. • Azas ini berlandaskan kedaulatan negara diwilayahnya sendiri. Ramdhan Kasim, SH

  29. Ada 3 macam teori agar dapat menyelesaikan persoalan tentang Locus delicti : • Teori perbuatan materiil. Locus delicti ialah tempat di mana perbuatan yang perlu ada supaya delik dapat terjadi dilakukan oleh pembuat (tempat dimana perbuatan-perbuatan itu terjadi disebut perbuatan materiil. Tempat di mana delik diselesaikan tidak penting). • Teori alat yang dipergunakan. Delik dilakukan di tempat di mana alat yang dipergunakan itu menyelesaikannya. • Teori akibat : Tempat akibat menjadi locus delicti. Ramdhan Kasim, SH

  30. Kesimpulan : • Teori mana di antara tiga teori yang harus dipilih, tergantung pada sifat dan corak perkara konkrit yang hendak diselesaikan. 2. Hazenwinkel – Suringa. Mempergunakan ketiga teori secara teleologis. a. Dalam hal menentukan hakim yang relatif berkuasa maka biasanya yang paling cocok ialah teori perbuatan materiil. - Hakim di tempat dimana pembuat melakukan deliknya. - Terdapat bukti-bukti yang paling jelas. b. Dalam hal harus berlakunya UU Pidana Nasional supaya dapat dicegah bahaya bagi dan ancaman terhadap keamanan nasional yang datang dari luar negeri (teori alat yang dipergunakan atau teori akibat). Ramdhan Kasim, SH

  31. PASAL 3 KUHP “Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia melakukan perbuatan pidana di dalam kapal Indonesia” Pasal ini memperluas azas teritorialitet. “vaartuig” (alat pelayar) adalah segala sesuatu yang dapat berlayar yakni segala sesuatu yang dapat bergerak di atas air. “Schip”(kapal) adalah tiap vaartuig yang berdasarkan peraturan perkapalan umum diberi surat laut atau pas kapal, atau yang diberi suatu surat pengakuan lain, yang untuk sementara waktu mengganti surat laut dan pas kapal itu. Hukum Internasional mengakui sebagai wilayah nasional hanya : • Kapal perang, • Kapal dagang di laut terbuka, • Kapal dalam hal dijalankan ius passage innoxii. Dengan UU No. 4 Tahun 1976, Pasal 3 KUHP telah ditambah juga dengan kata pesawat udara. Azas teritorialitet belum cukup melindungi kepentingan nasional. Ramdhan Kasim, SH

  32. Azas Nasionalitet Pasif atau Azas Perlindungan Pasal 4 KUHP Azas ini menentukan bahwa: • Hukum pidana suatu negara berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan di luar negeri. • Kepentingan tertentu, kepentingan negara dilanggar di luar wilayah kekuasaan negara itu. (Pasal 4 ayat (1), (2), dan (4) KUHP. • Azas ini diperluas dengan kejahatan penerbangan dan tindak pidana ekonomi. Menurut Hezewinkel-Suringa, azas ini dimaksud : • Melindungi kepentingan umum yang besar. • Tidak melindungi kepentingan individual. Pasal 8 KUHP . • Termasuk azas perlindungan karena melindungi kepentingan pelayaran. • Memperluas berlakunya Pasal 3, jika kejahatan-kejahatan itu dilakukan dalam perahu Indonesia. • Pompe mengatakan bahwa harus diartikan orang-orang yang biasanya ada dalam perahu. Ramdhan Kasim, SH

  33. Azas Nasionalitet Aktif atau Azas Personalitet Pasal 5 KUHP “Aturan pidana dalam per-UU-an Indonesia berlaku bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan beberapa delik tertentu”. Delik tersebut dapat dibagi dalam 2 golongan : • a. kejahatan melanggar keamanan negara (Pasal 104-129). b. kejahatan melanggar martabat kepala negara dan wakil presiden (Pasal 131-139 KUHP). c. menghasut (Pasal 160 KUHP). d. menyiarkan tulisan yang bertujuan menghasut (Pasal 161 KUHP). e. dengan sengaja membuat diri atau membuat orang lain tidak cakap untuk memenuhi kewajiban militer (Pasal 240 KUHP). f. melakukan perampokan (pembajakan) laut (Pasal 450-451). Menurut Jonkers, delik-delik tersebut dicantumkan secara tegas karena disini ada perbuatan yang mengancam kepentingan-kepentingan yang khusus bagi Indonesia, dan perbuatan-perbuatan ini tidak dikenai UU Pidana menurut dari negara dimana perbuatan tersebut dilakukan. Ramdhan Kasim, SH

  34. Semua kejahatan ini harus memenuhi 2 syarat : - kejahatan menurut KUHP. - juga dihukum oleh hukum pidana asing di mana kejahatan itu dilakukan. Dari perkataan “berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luarIndonesia” maka azas yang dikandung adalah azas personal. Moeljatno berpendapat lebih melihat prinsip melindungi kepentingan nasional dari pada azas personal,karena: • Dalam azas personal pada umumnya harus berlaku seluruh per-UU-an hukum pidana, hal mana kemudian dapat diperkecil karena hal-hal tertentu. • Apa yang ditentukan dalam ayat (2), yaitu ketentuan untuk mencegah agar supaya warga negara asing jangan berbuat kejahatan. Ramdhan Kasim, SH

  35. Pasal 5 ayat (2) : • Diadakan untuk mencegah, bukan warga negara yang sudah melakukan perbuatan pidana di negeri asing, melarikan diri ke Indonesia lalu minta dinaturalisasikan sebagai warga negara Indonesia, sehingga dengan demikian tidak diserahkan dan terluput dari penuntutan pidana. • Jangan dipandang sebagai imbangan dari prinsip bahwa warga negara tidak diserahkan kepada pemerintah asing. Ketentuan yang penting dari Peraturan Penyerahan S.1883-188, ialah : Pasal 1 Penyerahan orang asing hanya mungkin jika memenuhi syarat –syarat tersebut dalam peraturan ini. Pasal 2 Penentuan macam-macamnya perbuatan pidana memungkinkan penyerahan. Pasal 5 Penyerahan tidak dilakukan selama orang asing itu sedang dituntut perkaranya, atau sesudahnya diadili atau diadili dibebaskan atau dilepaskan dari segala tuntutan. Pasal 8 Penyerahan dimintakan dengan melalui jalan diplomatik. Ramdhan Kasim, SH

  36. Beberapa hal di mana orang itu tidak diserahkan, yaitu : • Kalau orang yang diminta diserahkan itu warga negara sendiri. 2. Kalau dianggap oleh negara asing itu bahwa perbuatan orang itu adalah bersifat “kejahatan politik” Kejahatan politik terdiri atas : a. Kejahatan politik mutlak yaitu kejahatan ditujukan secara langsung untuk merobohkan negara. b. Kejahatan politik relatif yaitu kejahatan secara tidak langsung hendak mengganggu keamanan negara. • Kalau orang itu oleh pengadilan negara asing sudah diputuskan perkaranya. • Kalau permintaan penyerahan dari negara yang dilanggar UU dianggap terlambat oleh negara asing itu. 5. Kalau orang yang diminta diserahkan itu pejabat suatu negara. Ramdhan Kasim, SH

  37. Pasal 6 KUHP : membatasi azas personalitet. Pasal 7 KUHP : memperluas azas nasionalitet aktif (personalitet) dengan azas nasionalitet pasif (perlindungan) karena berlaku bagi setiap orang pegawai negeri yang di luar Indonesia melakukan salah satu perbuatan pidana tersebut dalam Bab XXVIII Buku ke-2. Azas Universalitas. Azas ini melihat hukum pidana : • Berlaku umum, • Melampaui ruang wilayah dan ruang orang (Indonesia), • Jenis kejahatan yang diancam pidana sangat berbahaya bukan saja dilihat dari kepentingan Indonesia tetapi juga kepentingan dunia. • Secara universal jenis kejahatan ini perlu dicegah dan diberantas. • Kekuasaan hakim menjadi mutlak karena yurisdiksi pengadilan tidak tergantung lagi pada tempat terjadinya delik atau nasionalitas atau domisili tedakwa. Ramdhan Kasim, SH

  38. Azas ini diatur dalam Pasal 4 : • Sub ke-2 KUHP “melakukan salah satu kejahatan tentang mata uang, uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank. • Sub ke-5 KUHP “melakukan kejahatan tentang : - Perampokan di laut, dan penyerahan alat pelayar keada perampok laut (Pasal 458, 444 – 447 KUHP). - Penguasaan pesawat udara secara melawan hukum (Pasal 479 KUHP). Pasal 9 KUHP “ Pasal 2 -5, 7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum Internasional” Ada 4 hal perkecualian tersebut (hak eksteritorialitet), ialah : • Kepala negara beserta keluarga dari negara sahabat. • Duta-duta negara asing beserta keluarganya. Konsul-konsil tergantung dari traktat. • Anak buah kapal perang asing yang berkunjung di suatu negara sekalipun berada di luar kapal. • Tentara negara asing yang ada di dalam wilayah negara dengan persetujuan negara itu. Ramdhan Kasim, SH

  39. PERISTIWA PIDANA (STRAFBAAR FEIT) Pengertian : Feit berarti sebagian dari suatu kenyataan Strafbaar berarti dapat dihukum Strafbaar feit yaitu sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum • Kepustakaan tentang hukum pidana : delik • Pembuat UU dalam merumuskan UU : peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana. Vos mengartikan adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan per-UU-an, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana. Van Hattum mengatakan bahwa peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang menyebabkan hal seseorang mendapat hukuman atau dapat dihukum. a. peristiwa dan pembuat sama sekali tidak dapat dipisahkan. b. hal ada tidaknya suatu kelakuan yang melawan hukum barulah dapat diketahui setelah diketahui keadaan di dalamnya pembuat ditempatkan. Ramdhan Kasim, SH

  40. Pompe: pengertian strafbaar feit dibedakan : • Menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut gambaran teori tedapat unsur-unsur periatiwa pidana, yaitu suatu kelakuan yang : 1). bertentangan dengan hukum yang : 2). diadakan karena pelanggar bersalah. 3). dapat dihukum. • Menurut hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh per-UU-an dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Simons menyatakan strafbaar feit adalah perbuatan yang melawan hukum dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Ramdhan Kasim, SH

  41. J.E.Jonkers memberikan definisi menjadi dua pengertian : • Definisi pendek adalah suatu kejadian yang dapat diancam pidana oleh UU. • Definisi panjang (lebih mendalam) adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Kesimpulan : Strafbaar feit mempunyai 2 arti yang menunjuk kepada : • Perbuatan yang diancam dengan pidana oleh UU. • Perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Ramdhan Kasim, SH

  42. Subyek delik dan Rumusan delik Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman pidana kepada barang siapa melakukannya dan delik itu harus ditujukan kepada : • Memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu kepentingan hukum seperti pembunuhan, pencurian. • Membahayakan suatu kepentingan hukum. Vos memberikan alasan mengapa hanya manusia yang dapat menjadi subyek delik, yaitu : • Terdapatnya rumusan yang dimulai dengan “barang siapayang…”. Di dalam per-UU-an pada umumnya, yang berarti tidak lain adalah manusia. • Jenis-jenis pidana pokok hanya dapat dijalankan tidak lain oleh manusia. • Dalam hukum pidana berlaku azas kesalahan bagi seorang manusia pribadi. Ramdhan Kasim, SH

  43. J.E.Jonkers mengenal 4 jenis KUHP metode rumusan delik dalam UU, yang terdiri atas: • Yang paling lazim menyebutkan rumusan dengan cara menerangkan isi delik dan keterangan itu dapat dijabarkan menjadi unsur-unsur perbuatan yang dapat dipidana (Pasal 279, 281, 286 KUHP). • Dengan cara menerangkan unsur-unsur dan memberikan penafsiran (kualifikasi) (263, 362, 372, 372 KUHP). • Cara yang jarang dipakai adalah hanya memberikan penafsiran saja (351, 338 KUHP). • Kadangkala UU merumuskan ancaman pidananya saja untuk peraturan-peraturan yang masih akan dibuat kemudian (521, 122 ayat (2) KUHP). Ramdhan Kasim, SH

  44. Pembagian delik menurut rumusan yang dikehendaki oleh UU. • Commissie delicten adalah pelanggaran sesuatu yang dilarang dalam UU (362, 372, 378 KUHP) Ommisse delicten adalah pelanggaran sesuatu yang diperintah menurut UU (164, 224, 522, 531 KUHP). a. Yang murni yaitu tindakan tidak membuat sesuatu yang oleh UU Pidana diperintah. Delik ini selalu delik formil (164,224, 522 KUHP). b. Yang tidak murni yaitu yang terjadi apabila akibat dari perbuatan yang bersangkutan, yang tidak dikehendaki oleh suatu UU, yang tidak dikehendaki oleh suatu tidak membuat (194, 338 KUHP) • Formele delicten adalah delik yang hukuman yang diancam terhadap suatu perbuatan tertentu, yang dilukiskan dalam UU Pidana, dan timbu tidaknya akibat dari perbuatan itu tidak dipersoalkan. (156, 160, 209, 263, 362 KUHP) Materiele delicten adalah timbulnya akibat dari perbuatan yang bersangkutan, selama akibat tersebut belum timbul maka juga delik belum ada atau belum selesai. (338 KUHP) Ramdhan Kasim, SH

  45. Doleus delicten ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja (338 KUHP). Culpose delicten ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan (359 KUHP). • Zelfstandige delicte ialah delik yang berdiri sendiri yang terdiri atas satu perbuatan tertentu. Voorgezette delicten ialah delik yang terdiri atas beberapa perbuatan berlanjut. Pembagian ini diperlukan untuk kepentingan sistem penerapan penjatuhan pidana (64, 65 KUHP). • Aflopende delicten (delik yang selesai) ialah delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan (330,529 KUHP). Voordurende delicten (delik yang berlanjut) ialah delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk menimbulkan suatu keadaan yang bertentangan dengan suatu norma. (221, 333, 250, 261 KUHP). Ramdhan Kasim, SH

  46. Enkelvoudige delicten ialah delik yang pelakunya telah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindakan yang dilarang oleh UU. Samengestelde delicten ialah delik yang pelakunya hanya dapat dihukum menurut sesuatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku tersebut telah berulangkali melakukan tindakan yang sama yang dilarang oleh UU. (480 ayat (1), 296 KUHP). 7. Delicta propria ialah delik yang hanya dapat dilakukan hanya oleh orang tertentu karena suatu kualitas. (delik jabatan, militer, nakhoda). Commune delicten ialah delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang pada umumnya. • Eenvoudige delicten atau delik yang sederhana adalah delik dalam bentuk pokok seperti yang telah dirumuskan oleh penbentuk UU. Gekwalificeerde delicten atau delik dengan pemberatan adalah delik dalam bentuk yang pokok yang karena didalamnya terdapat keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat. (362>363, 372>374 KUHP). Ramdhan Kasim, SH

  47. Politieke delicten ialah delik yang dilakukan karena adanya unsur politik, yang dapat dibedakan menjadi : a. Zuivere politieke delicten yang merupakan kejahatan penghianatan interen (104-110 KUHP) dan penghianatan eksteren (121, 124, 126 KUHP). b. Gemengde politieke delicten yang merupakan pencurian terhadap dokumen negara. c. Connexe politieke delicten yang merupakan kejahatan menyembunyikan senjata. Commune delicten ialah delik yang ditujukan kepada kejahatan yang tidak temasuk keamanan negara, misalnya penggelapan, pencurian dll. • Klacht delicten ialah terdapat sejumlah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan (72-75, 284 ayat (2), 319, 320 ayat (2) KUHP). Gewone delicten ialah tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan. • Opzettelijke delicten ialah delik tersebut harus dilakukan dengan sengaja. Culpooze delicten ialah delik tersebut terjadi dengan tidak sengaja agar pelakunya dapat dihukum. Ramdhan Kasim, SH

  48. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA Unsur-unsur subyektif ialah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku. Unsur subyektif dari suatu tindak pidana, yaitu: • Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa). • Maksud (voornemen) atau percobaan (poging) (53 ayat (1) KUHP). • Macam-macam maksud. • Merencanakan terlebih dahulu (340 KUHP). • Perasaan takut (308 KUHP). Unsur-unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan yang di dalam keadaan mana tindakan dari si pelaku harus dilakukan. Unsur-unsur obyektif dari suatu tindak pidana, yaitu : • Sifat melanggar hukum (wederrechtelijkheid) • Kwalitas si pelaku (415, 398 KUHP). • Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. Ramdhan Kasim, SH

  49. VOS mengatakan bahwa di dalam suatu strafbaar feit dimungkinkan adanya perbuatan beberapa delik, yaitu : • Elemen perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak berbuat. • Elemen akibat dari perbuatan yang terjadi dalam delik selesai. • Elemen kesalahan yang diwujudkan dengan kata-kata sengaja, atau alpa. • Elemen melawan hukum. • Dan sederetan elemen-elemen lain menurut rumusan UU, dan dibedakan menjadi segi obyektif. Hazelwinkel-Surunga, mengatakan dalam suatu strafbaar feit dimungkinkan beberapa elemen, yaitu: • Elemen kelakuan orang. • Elemen akibat, yang ditetapkan dalam UU karena pembagian delik formil dan meteriil. • Elemen psikis, seperti elemen dengan maksud, dengan sengaja/alpa. • Elemen obyektif yang menyertai keadaan delik seperti elemen di muka umum. • Syarat tambahan untuk dapat dipidananya (164, 165 KUHP). • Elemen melawan hukum sebagai elemen yang memegang peranan penting (167,406 KUHP). Ramdhan Kasim, SH

  50. Pompe membagi elemen strafbaar feit terdiri atas unsur: • Melawan hukum (wederrechttelijkheid). • Kesalahan (schuld). • Bahaya/gangguan/merugikan (subsociale). Elemen strafbaar feit dalam rumusan defenisi hukum positif cukup mengambil elemen yang obyektif saja,yaitu elemen: • Kelakuan, dalam delik bentuknya berupa kelakuan dengan berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu yang seharusnya dilakukan. • Akibat dari perbuatan menurut rumusan delik yaitu suatu hubungan antara sebab dan akibat yang dapat menimbulkan kejadian yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh UU. • Obyektif yang menyertai keadaan delik, yang bersifat kualitas atau yang memberatkan atau meringankan. • Melawan hukum. Ramdhan Kasim, SH

More Related