1 / 19

Hand out 2 PENDIDIKAN MORAL PRODI KP FIP UNY Dosen: Dr. Rukiyati HP. 085743975283

Hand out 2 PENDIDIKAN MORAL PRODI KP FIP UNY Dosen: Dr. Rukiyati HP. 085743975283. Pentingnya Pendidikan Moral Dalam dunia profesional dan interaksi sosial ada tingkah laku yang dikendalikan oleh aturan-aturan tertentu (rule guided behavior).

sugar
Download Presentation

Hand out 2 PENDIDIKAN MORAL PRODI KP FIP UNY Dosen: Dr. Rukiyati HP. 085743975283

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Hand out 2 PENDIDIKAN MORAL PRODI KP FIP UNY Dosen: Dr. Rukiyati HP. 085743975283

  2. PentingnyaPendidikan Moral Dalamduniaprofesionaldaninteraksisosialadatingkahlaku yang dikendalikanolehaturan-aturantertentu(rule guided behavior). Bagianterpentingdariaturantsberatkaitannya dg dimensikeadilandankewajiban.

  3. Immanuel Kant membedakankewajiban yang perfectdanimperfect. Perfect  bernuansanegatif, misalnya: Tidakbolehberbohong Tidakbolehmencuri Tidakbolehmembunuh, dsb. Imperfect  bersifatpositif, misalnya: Membantuorangmiskin Merawatorangsakit Menemaniorang yang kesepian, dsb.

  4. Duatipekewajibantsbumumnyatelahdimengertiolehmasyarakatmanusiadimanapunjuga. Pandanganumum anak-anaksudahpadatempatnyauntukmampumengadopsiaturan-aturanumum, baik yang berupakewajiban-kewajibandalamartianpertama (perfect) maupunkedua (imperfect).

  5. Jadi, dapatdimengertibahwa “kebutuhan” merupakansalahsatualasanpokokdariperlunyapendidikan moral. Anak-anakperlubelajarmenggunakanakaldanpenalarannya, terutamadidalammenghadapipelbagaisituasipengambilankeputusan yang serbamendua(ambiguous)  kontrolpribadi.

  6. Tujuannya agar anak/seseorangmemilikipengalamanberkenaandenganmasalahkebebasansekaligusmengatribusikanhakikattindakanuntukdirinyasendiri. Adakemungkinangagal, namundapatbelajardarikegagalannya. Kewajiban perfect lebihmendapatbanyakperhatian. Kewajiban imperfect  dipertahankanoleh guru-guru altruistisdanprososial.

  7. Emile Durkheim  masyarakatharusmelindunginilai-nilai moral dansosial, tidakmeninggalkannyademikebebasanrasionalitassemata. Asumsidasar: Tidakseorangpunsepanjangiatetapinginmenjadianggotamasyarakat, dapatmenolaktuntutanmasyarakatdantuntutan moral fundamental ygsecarajelasmemancarkankepercayaan fundamental masyarakatybs.

  8. Kirchensbaum: Pendidikan moral harus dilaksanakan komprehensif Artinya  Pendidikan moral bersifat menyeluruh atau komprehensif, menyangkut banyak aspek yang terkait menjadi satu kesatuan. Mencakup berbagai aspek: isi, metode, proses, subjek, evaluasi

  9. 1) Isi pendidikan moral harus komprehensif, meliputi semua permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai pertanyaan-pertanyaan etika secara umum. 2) Metode pendidikan nilai moral juga harus komprehensif, termasuk di dalamnya inkulkasi (penanaman) nilai, pemberian teladan dan penyiapan generasi muda agar dapat mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral secara bertanggung jawab dan ketrampilan-ketrampilan hidup yang lain.

  10. 3). Proses pendidikan nilai moral • Pendidikan nilai hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan semua aspek kehidupan. • Beberapa contoh: • Kegiatan belajar berkelompok; penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik-topik tulisan mengenai kebaikan; penggunaan strategi klarifikasi nilai dan dilema moral; pemberian teladan: tidak merokok, tidak korup, tidak munafik, dermawan, menyayangi sesama makhluk Allah, dan sebagainya.

  11. 4) Subjek pendidik nilai moral • Pendidikan nilai hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat. Orang tua, lembaga keagamaan, penegak hukum, polisi, organisasi kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan nilai. Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan nilai memengaruhi kualitas moral generasi muda.

  12. 5) Evaluasi pendidikan nilai moral • Di samping keempat aspek di atas (isi, metode, proses dan pendidik), pendidikan nilai juga memerlukan evaluasi yang komprehensif. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Tujuan pendidikan nilai meliputi tiga kawasan, yakni penalaran nilai/moral, perasaan nilai/moral dan perilaku nilai/moral. Maka, evaluasi pendidikan nilai juga mencakup tiga ranah tersebut. berupa evaluasi penalaran moral, evaluasi karakteristik afektif, dan evaluasi perilaku (Darmiyati, 2010: 51).

  13. a) Evaluasi penalaran moral • Supaya tujuan pendidikan nilai yang berwujud perilaku yang diharapkan dapat tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini, Kohlberg berdasarkan penelitian longitudinal, telah berhasil meredefinisi pemikiran Dewey mengenai reflective thinking dan memvalidasi karya Piaget mengenai perkembangan berpikir, menyusun tingkat-tingkat perkembangan moral

  14. b) Evaluasi karakteristik afektif • Dupon (Darmiyati, 2010: 54) telah menemukan tahap-tahap perkembangan afektif sebagai berikut: • Impersonal, egocentric: tidak jelas strukturnya. • Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal. • Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral. • Psychological-personal: menjadi dasar keterlibatan orang lain atau komitmen pada sesuatu yang ideal. • Autonomous: didominasi oleh sifat otonomi. • Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol diri secara sadar.

  15. Selain itu, ada juga pengukuran dengan menggunakan skala sikap  dikembangkan oleh Likert atau Guttman dan semantic differential yang dikembangkan oleh Nuci, dan peneliti lainnya. Walaupun dinamakan skala sikap, karakteristik afektif yang dievaluasi dapat pula mencakup minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri dan nilai.

  16. c) Evaluasi perilaku • Perilaku moral sangat sulit untuk dievaluasi. Perilaku moral hanya mungkin dievaluasi secara akurat dengan melakukan observasi (pengamatan) dalam jangka waktu yang relatif lama dan secara terus-menerus. Dari pengamatan tersebut dapat ditarik kesimpulan apakah perilaku orang yang diamati telah menunjukkan watak atau kualitas akhlak yang akan dievaluasi.

  17. Misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, adil, memiliki komitmen, beretos kerja, tanggung jawab, dan sebagainya. Pengamat harus orang yang sudah mengenal orang-orang yang diobservasi agar penafsirannya terhadap perilaku yang muncul tidak salah (Darmiyati, 2010: 55).

  18. COMPONENTS OF GOOD CHARACTER • MORAL KNOWING • Moral awareness • Knowing moral values • Perspective-taking • Moral Reasoning • Decision-making • Self-knowledge • MORAL FEELING • Conscience • Self-esteem • Empathy • Loving the good • Self-control • Humility • MORAL ACTION • Competence • Will • Habit

  19. COMPREHENSIVE APPROACH TO VALUES AND CHARACTER EDUCATION • Classroom Strategies • Teacher as caregiver, model and mentor • A moral classroom community • Moral discipline • A democratic classroom environment • Teaching values through the curriculum • Cooperative learning • Conscience of craft • Moral reflection • Teaching conflict resolution • Schoolwide Strategies • Caring beyond the classroom • Creating positive moral culture in the school • School,parents, and communities as partner • Character • Moral Knowing • Moral Feeling • Moral Action

More Related