1 / 13

Oleh : Dahlia Triyanti

Oleh : Dahlia Triyanti. THE IMPACT OF SOCIOCULTURAL FACTORS ON BREASTFEEDING AND SEXUAL BEHAVIOR Dampak dari Faktor-faktor Sosial Budaya terhadap pemberian ASI dan Perilaku Seksual. Faktor-faktor sosial budaya diyakini mempengaruhi tiga komponen kesuburan alami.

rafi
Download Presentation

Oleh : Dahlia Triyanti

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Oleh : Dahlia Triyanti THE IMPACT OF SOCIOCULTURAL FACTORS ON BREASTFEEDING AND SEXUAL BEHAVIORDampak dari Faktor-faktor Sosial Budaya terhadap pemberian ASI dan Perilaku Seksual

  2. Faktor-faktor sosial budaya diyakini mempengaruhi tiga komponen kesuburan alami Tiga komponen kesuburan alami : 1. pemberian ASI (menyusui)2. Pantang sukarela (terutama setelah melahirkan)3. Frekuensi hubungan seksual

  3. Tujuan utama pemberian ASI adalah memberikan makanan untuk bayi Menyusui salah satu cara untuk mencegah kehamilan/pengurangan kesuburan (Simpson-Hebert dan Huffman, 1981) Faktor sosial budaya yang mempengaruhi pemberian ASI antara lain : pendidikan, urbanisasi, pendapatan, pekerjaan perempuan, ketersediaan susu formula dan pelayanan kesehatan modern Lamanya pemberian ASI diduga tergantung pada tiga faktor utama : - persepsi orang tua dan masyarakat tentang yang terbaik bagi kesehatan/ tumbuh kembang anak - ketersediaan barang pengganti ASI (susu formula) dan kemampuan orang tua untuk membelinya - kenyamanan menyusui bagi ibu PEMBERIAN ASI (MENYUSUI)

  4. Terdapat hubungan yang negatif antara pendidikan dan lama pemberian ASI (Jain dan Bongaarts,1981) Tabel 1. Lamanya pemberian ASI (dalam bulan) menurut pendidikan dan tempat tinggal ibu, di 8 negara. PENDIDIKAN

  5. Di China wanita yang berpendidikan tinggi cenderung lebih lama menyusui • Di India, pendidikan ibu hanya mempengaruhi inisiasi dalam menyusui • Data survey yang ada menunjukkan bahwa di negara-negara kurang maju, ada hubungan yang negatif antara pendidikan dan lamanya menyusui. Ibu yang berpendidikan rendah menyusui lebih lama dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan lebih tinggi, meskipun durasi penurunannya tidak seragam. • Untuk negara-negara maju (Swedia), pendidikan di tingkat lebih tinggi cenderung memiliki efek positif pada ASI, setidaknya dalam beberapa tahun terakhir. Semakin memahami akan manfaat ASI sehingga cenderung lebih lama dalam pemberian ASI. Keadaan serupa juga terjadi di Thailand, Korea, Malaysia, Taiwan, Aljazair, dan sebagian negara di Afrika (era 1970 1981)

  6. Ada perbedaan dalam praktek menyusui antara desa – kota untuk negara kurang berkembang. Rata-rata lama menyusui lebih rendah di perkotaan daripada dipedesaan (di 8 negara kurang berkembang, 1981).Tabel 1 Urbanisasi umumnya memiliki efek negatif di negara-negara kurang berkembang yaitu pada durasi lamanya menyusui. Hal ini mungkin karena pendidikan dan kesempatan kerja yang lebih tinggi bagi perempuan diperkotaan, serta ketersediaan barang pengganti ASI yaitu susu formula, sehingga durasi menyusuinya menjadi lebih pendek. WANITA BEKERJA Beberapa dimensi wanita bekerja yang mempengaruhi pola menyusui : jenis pekerjaan (pertanian-non pertanian), tempat kerja, hubungan dengan atasan. Ketidaknyamanan menyusui bagi perempuan bekerja diluar rumah secara umum diterima sebagai faktor utama dalam penurunan lamanya menyusui ( daerah perkotaan negara kurang berkembang.) Wanita bekerja di sektor non pertanian umumnya lebih pendek masa menyusuinya daripada wanita yang bekerja di sektor pertanian(kasus di Malaysia dan Thailnad tahun 1980), Pemberian ASI cenderung menurun bila jarak tempat kerja perempuan dari rumah ke tempat kerja semakin jauh( Popkin dan Solon, 1976) URBANISASI

  7. Butz dan Davanzo (1981) menemukan hubungan negatif yang signifikan antara pendapatan rumah tangga dengan lamanya menyusui. Di Malaysia, Thailand semakin tinggi pendapatan suami/istri (rumahtangga) maka semakin pendek durasi pemberian ASI nya. (Chandler et al,1977) Dari data yang ada tahun 1977, dinegara kurang berkembang, wanita yang berasal dari rumah tangga yang berpenghasilan tinggi umumnya menyususi lebih pendek daripada rumah tangga berpenghasilan rendah. KETERSEDIAAN SUSU FORMULA DAN PELAYANAN KESEHATAN MODERN Pengenalan susu formula sebagai makanan bayi dan ketersediaan layanan kesehatan dalam memperpendek durasi pemberian ASI. Survey WHO (1970), perusahaan-perusahaan susu gencar mendistribusikan susu formula dan botol susu di rumah sakit bersalin, dan memberikan sebagai hadiah kepada ibu-ibu yang baru melahirkan. Di negara kurang berkembang, pelayanan kesehatan sering dilaporkan secara tidak langsung mencegah menyusui, termasuk diantaranya pemisahan ibu dan bayi setelah melahirkan, adanya iklan-iklan susu formula di dinding rumah sakit. Inisiasi menyusui lebih rendah pada wanita yang melahirkan di klinik bersalin swasta daripada ditempat lain. PENDAPATAN

  8. Sebagian besar variasi dalam pemberian ASI antara kelompok-kelompok regional, etnis, dan agama suatu negara tidak dapat dijelaskan dengan perbedaan karakteristik sosial ekonomi dan demografi individu. Ada faktor psikologis dan budaya lainnya yang tidak mudah diidentifikasi dan diukur yang harus dipertimbangkan. Ini meliputi : dukungan psikologis kepada ibu bersalin, dipengaruhi oleh struktur keluarga atau masyarakat, kepercayaan dan ritual yang berkaitan dengan pentingnya ASI bagi bayi, konsep payudara wanita sebagai simbol daya tarik seksual, dan bukan simbol gizi serta emosional makanan untuk bayi, rasa kesopanan tentang mengekspos payudara wanita ketika menyusui bayinya, dan sifat dari hubungan ibu –anak yang dipengaruhi oleh aspek lain dari budaya. Di Malaysia, para ibu yang tinggal dirumah dengan orang tuanya, mertua, atau kerabat dewasa lainnya lebih mungkin untuk memulai menyusui dibanding ibu yang tinggal sendiri. (efek positif dari adanya kerabat), (Butz dan DaVanzo,1980) Di India, adik ipar yang mencucikan dada ibu yang baru melahirkan dengan buttermilk dan rumput sembari membacakan doa, sebagai simnol agar dapat menyusui dengan lancar.(Anand dan Rao,1962) FAKTOR BUDAYA LAINNYA

  9. Ada empat jenis pantang sukarela posmarital : 1. Pantang Postpartum 2. Terminal pantang (setelah tahap tertentu dari siklus hidup pasangan) 3. Pantang berhubungan apabila sedang menstruasi 4. Pantang untuk alasan khusus (kehamilan, seremonia,perang, dll) Masa amenore (tidak menstruasi) sebagian besar dipengaruhi oleh pemberian ASI, umumnya lebih panjang dibandingkan periode pantang postpartum di negara-negara kurang berkembang. Namun ada beberapa masyarakat, terutama di sub Sahara Afrika, dimana durasi pantang postpartum lebih lama sehingga dapat menunda konsepsi. 5. Dalam penelitiannya di Indonesia, Singarimbun dan Manning (1976,1977) menemukan 40 persen wanita yang ditemukan berpikir bahwa berhubungan seksual ketika menyusui berbahaya bagi kesehatan bayi dan memberikan efek pada kualitas dan kuantitas ASI, 17 persen merasa pantang itu diperlukan dalam rangka mencapai interval kelahran yang lebih memuaskan. PANTANG SUKARELA

  10. Masa subur dalam siklus ovulasi perempuan cukup singkat, oleh karena dengan tidak adanya alat kontrasepsi, variasi frekuensi hubungan seksual diharapkan memiliki efek yang memungkinkan terjadinya konsepsi.( Bongaarts, dalam volume) Ada contoh di masyarakat dimana frekuensi rata-rata hubungan seksual cukup rendah yang berkontribusi terhadap penurunan kesuburan. Frekuensi hubungan seksual pada umumnya menurun seiring bertambahnya usia, namun frekuensi rata-rata maksimum antara pasangan menikah tampaknya terjadi pada kelompok usia dibawah 20 tahun di negara maju, dan lebih tinggi di negara kurang berkembang. Meskipun tidak ada hubungan yang konsisten antara status sosial ekonomi dan frekuensi hubungan seksual, perbedaan sikap terhadap seks dapat menjelaskan setidaknya beberapa variasi dalam frekuensi hubungan seks di antara kelompok-kelompok agama. Jenis keluarga dan jenis perkawinan (Burch) adalah variabel yang dapat mempengaruhi frekuensi hubungan seksual. FREKUENSI HUBUNGAN SEKSUAL

  11. Kinsey et al (1953) Pendapatan yang tinggi memberikan kesempatan yang lebih banyak untuk rekreasi, kepentingan intelektual lebih bervariasi, dan penyaluran yang lebih luas untuk energi saraf (dengan olahraga) yang semuanya mungkin mengakibatkan aktivitas seksual yang jarang Kesuburan tinggi di negara-negara kurang berkembang adalah karena sebagia besar penduduknya miskin, sehingga frekuensi melakukan hubungan seksual lebih tinggi.

  12. TERIMA KASIH

More Related