1 / 2

Kekecewaan yang Tak Bertepi

Kekecewaan yang Tak Bertepi

maddox
Download Presentation

Kekecewaan yang Tak Bertepi

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Kekecewaan yang Tak Bertepi Semasa Kabinet Sukiman (1951/1952) menggantikan Kabinet Natsir, ada kejadian yang membikin Bung Hatta kecewa dan marah terhadap saya. Bapak Sukiman selaku formateur kabinet menawarkan kepada saya untuk ikut masuk dalam pemerintahan yang bakal dipimpinnya, juga sebagai mentri perdagangan dan perindustrian, sehingga saya dapat melanjutkan apa yang telah dirintis di waktu Kabinet Natsir. Karena saya tidak menerima tawaran tersebut, kemudian Pak Sukiman sebagai perdana mentri menawarkan saya untuk menjadi direktur Biro Perencanaan Negara (yang kemudian dijelmakan menjadi BAPPENAS sekarang). Juga tawaran terakhir saya tolak karena berbagai pertimbangan yang menurut saya mengandung relevansi masa. Saya mengetahui bahwa kedua tawaran Pak Sukiman mendapat persetujuan dari Bung Karno dan Bung Hatta, bahkan mungkin sekali atas anjuran dan dukungan Bung Hatta. Oleh sebab itu dapat dimengerti bahwa beliau ini menjadi sangat kecewa. Begitu Bung Hatta mendengar bahwa saya juga menolak tawaran kedua tadi, langsung beliau mengirim sepucuk surat kepada saya. Dalam surat beliau yang pedas sekali, beliau menyatakan amarah beliau dengan tegoran keras karena saya dianggap bersikap jual mahal dengan lebih mengutamakan kepentingan partai daripada kepentingan negara (waktu itu partai saya, PSI, sedang dalam kedudukan oposisi). Bila sekarang saya menengok kembali kepada peristiwa zaman itu, saya mengakui dengan ikhlas bahwa Bung Hatta memang beralasan untuk merasa kecewa dan marah terhadap saya. Dalam keadaan tahun-tahun 1950-an, saya yang aktif sebagai anggota partai politik sering dihadapkan pada dilemma, seakan-akan berada di persimpangan jalan (saya mengetahui bahwa banyak rekan dari partai-partai lainnya, dengan siapa secara pribadi saya mempunyai hubungan yang baik, juga mengalami dilemma yang serupa). Di satu pihak secara logis-rasional maupun emosional kami secara perorangan masing-masing menyadari bahwa kepentingan nasional menuntut adanya pengerahan dan pembulatan semua tenaga yang dapat menyumbangkan pengalaman dan pengetahuannya. Di pihak lain dalam konstelasi politik yang berlaku, mereka menjalankan peranan aktif dalam dunia kepartaian. Diharapkan pula solidaritas dan loyalitas terhadap partai serta ketaatan pada disiplin partai. Pada kesempatan lain kritik Bung Hatta tidak ditujukan secara langsung atau semata-mata terhadap diri saya, melainkan terhadap peranan tokoh-tokoh partai politik dalam peristiwa PRRI/Permesta. Dalam suatu tulisan seorang pengarang lain (saya tidak ingat lagi namanya) diungkapkan bahwa Bung Hatta menganggap sejumlah oknum partai politik (yang dimaksud beliau ialah Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Boerhanuddin Harahap, dan saya sendiri) telah menempuh jalan yang salah dengan mempengaruhi dan membelokkan gerakan daerah menjurus pada pengumuman suatu peremintahan tandingan. Dalam pertemuan-pertemuan antara Bung Hatta dan saya setelah saya kembali di tahun 1967 dari pengasingan, belum pernah hal itu saya mendengar langsung dari Bung Hatta sendiri. Akan tetapi andaikata pernyataan Bung Hatta benar begitu seperti tadi, maka dalam kasus ini saya khawatir bahwa pendapat beliau berdasarkan kesalahan informasi, atau satu sama lain tidak bersumber pada laporan, dan berita yang bersifat berat sebelah

  2. yang disampaikan kepada beliau oleh pihak-pihak dan golongan-golongan tertentu. Saya merasa mengetahui benar tentang latar belakang dan seluk-beluk pergolakan daerah menjelang pernyataan dan pengumuman PRRI, dan kini sebagai bekas pemberontak terhadap rezim Soekarno, saya masih merupakan saksi hidup mengenai kejadian sebelum dan sesudah pernyataan yang dimaksud itu. Akan tetapi di sini bukanlah tempatnya, dan juga belum waktunya untuk mengungkapkan semua itu secara lengkap. Cukup saya catat di sini bahwa penilaian Bung Hatta tentang peranan oknum-oknum partai politik dalam peristiwa PRRI Permesta agak berbeda dari apa yang saya ketahui dan saya alami dalam perkembangan dewasa itu sebagai salah satu tahap dalam sejarah Bangsa kita. Kalau di atas saya beberkan peristiwa perselisihan pendapat dan pertentangan pendirian antara Bung Hatta dan saya dan sikap amarah yang saya alami dari beliau, maksud saya ialah justru untuk menekankan bahwa segala sesuatunya itu tidak pernah mengganggu. Hubungan baik terus berlangsung, dan tetap terpelihara dalam pergaulan pribadi antara kami berdua. Di sinilah menonjol kebesaran jiwa pribadi Mohammad Hatta yang secara nyata dapat membedakan selisih pendapat mengenai sesuatu masalah dari hubungan pribadi di antara sesama manusia. Beliau selalu menunjukkan sikap saling harga-menghargai. Di kala Bung Hatta menunjukkan amarah ataupun memberi teguran secara blak-blakan, maka tiap kali hal itu terjadi, saya pun menyadari bahwa sikap beliau terdorong oleh perasaan seorang bapak terhadap seorang anak yang dihargainya, bahkan disayanginya. Dari pihak saya, walaupun dalam beberapa masalah penting di masa lalu saya tidak sependirian dengan beliau, satu sama lain tidak pernah mengurangi rasa hormat dan rasa sayang terhadap beliau. Dari Bung Hatta, saya dapat menyelami makna sebuah pepatah dalam bahasa asing yang juga menjadi salah satu patokan hidup bagi beliau. “Het is een vriend, die mij mijn feilin toont” (Barang siapa yang dengan tulus menunjukkan kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri saya, orang itu adalah kawan sejati). Saya merasa dianugrahi kebahagian bahwa dalam kehidupan saya, pernah saya kenal dari dekat seorang manusia besar bernama Mohammad Hatta. Soemitro Djojohadikoesoemo, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002

More Related