1 / 26

Latar Belakang :

Draft Laporan Alternatif Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10) PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA : PERSPEKTIF HAK SIPIL DAN HAK POLITIK. Latar Belakang :.

leo-sloan
Download Presentation

Latar Belakang :

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Draft Laporan Alternatif Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik (Pasal 10)PRAKTEK-PRAKTEK PENANGANAN ANAK BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM KERANGKA SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK (JUVENILE JUSTICE SYSTEM) DI INDONESIA : PERSPEKTIF HAK SIPIL DAN HAK POLITIK

  2. Latar Belakang : • Lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan seperti pencurian • Sembilan dari sepuluh anak ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan • Sepanjang tahun 2000, tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. • Pada bulan Januari hingga Mei 2002, ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia • Sebagian besar (84.2%) anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang-orang dewasa dan pemuda. Jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi (Polsek, Polres, Polda dan Mabes).

  3. Pada rentang waktu yang sama, yaitu Januari hingga Mei 2002, tercatat 9.465 anak-anak yang berstatus sebagai Anak Didik (Anak Sipil, Anak Negara dan Anak Pidana) tersebar di seluruh rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan. Sebagian besar, yaitu 53.3%, berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa dan pemuda.

  4. Kerangka Berpikir • Anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum (children in conflict with the law). • Anak yang berkonflik dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana (Pasal 40 ayat (1) KHA) • Beijing Rules mendefisinikannya sebagai berikut seorang anak atau orang muda yang diduga telah melakukan atau yang telah ditemukan telah melakukan suatu pelanggaran hukum. (Peraturan Minimun Standar PBB, disahkan melalui Resolusi Majelis PBB No. 40/33 Tanggal 29 November 1985) • Dalam perspektif KHA anak yang berkonflik dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection/CNSP), UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult circumstances’ (CEDC)

  5. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik, sebagai instrument Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, mengatur persoalan pencabutan kebebasan dalam pasal-pasal : Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, dan Pasal 15. • Kewajiban-kewajiban tersebut di atas, nampak dalam praktik negara melalui aparatusnya dalam mewujudkan padunya sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system )

  6. Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir, institusi penghukuman.

  7. Kerangka Yuridis • Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik Pasal 9 (1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. (2) Setiap orang yang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus sesegera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan terhadapnya (3) Setiap orang yang ditahan atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian. (4) Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan, yang bertujuan agar pengadilan tanpa menunda-nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya, dan memerintahkan pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum. (5) Setiap orang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah, berhak untuk mendapat ganti kerugoan yang harus dilaksanakan.

  8. Pasal 10 (1) Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia. (2) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus, harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana; (3) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan. (4) Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka.

  9. Pasal 14 (1) Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil da terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral , ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar-benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihanperkawinan atau perwalian anak-anak. (2) Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.

  10. (3) Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh: • Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; • Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri • Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; • Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya; • Untuk memeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya • Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; • Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.

  11. (4) Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. (5) Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum. (6) Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri (7) Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara.

  12. Pasal 15 : • Tidak seorang pun dapat dinyatakan bersalah atas suatu tindak pidana karena melakukan atau tidak melakukan tindakan yang bukan merupakan tindak pidana pada saat dilakukannya, baik berdasarkan hukum nasional maupun internasional. Tidak pula diperbolehkan untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Apabila setelah dilakukannya suatu tindak pidana muncul ketentuan yang lebih ringan hukumannya, maka pelaku harus mendapatkan keuntungan dari ketentuan tersebut. • Tidak ada satu hal pun dalam Pasal ini yang dapat merugikan persidangan dan penghukuman terhadap seseorang atas tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan, yang pada saat hal itu terjadi masih merupakan suatu kejahatan menurut asas-asas hukum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa.

  13. Case Study Pasal 9 Anak yang melakukan tindak pidana selalu diproses melalui jalur peradilan pidana, tindak kekerasan dan penganiayaan menjadi metode untuk mendapatkan pengakuan Dampaknya : • 95% anak yang berkonflik dengan hukum dikenakan penahanan dan 100% vonis hakim berupa pidana penjara, • 4.000 orang anak yang dikirim ke pengadilan, 90% diputus untuk ditahan dan 88% di antara mereka dipenjara selama lebih kurang 12 bulan, anak dipaksa mengaku, anak diperiksa di kepolisian siang dan malam, pernyataan dan pertanyaan aparat dalam pemeriksaan memojokkan anak, adanya kekerasan fisik dan emosional selama proses pemeriksaan. • Sebanyak 73% dikirim ke penjara untuk pelanggaran kecil atau kenakalan anak-anak, sedangkan 42% pelanggaran anak diputus untuk ditahan,

  14. Kasus : • Proses Hukum Bocah Pencuri Mie Instan Peradilan terhadap anak-anak seperti dialami Raju di Sumatera Utara yang sempat menjadi sorotan, ternyata dialami pula oleh empat bocah siswa SD dan SMP di Kagungan-Kota Agung, Kabupaten Tanggamus (Lampung). Keempat bocah itu, Sh (8) kelas 2 SDN 1 Kagungan, DE (13) kelas 2 SMPN 2 Kota Agung Timur, Ad (11) kelas 5 SD 1 Kagungan, dan He (12) kelas 6 SDN 1 Kagungan didakwa mencuri empat bungkus mie instan, perkaranya mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Kota Agung Rabu (15/3) lalu. Para bocah yang menjadi terdakwa tersebut, dituduh mencuri mie instan saat bermain di sekitar tambak udang di Pekon Kagungan, Kecamatan Kota Agung Timur, Minggu (15/12--2005) sekitar Pkl. 10:00 WIB. Sekawanan bocah itu mengambil empat bungkus mie yang harganya per bungkus Rp 500. Namun ulah mereka diketahui salah satu penjaga tambak di sana dan ditangkap serta sempat terkena pukulan di paha maupun tangan mereka. Kendati tidak ditahan, kasus itu ternyata diadukan oleh perusahaan tambak tersebut ke Polsek Kota Agung yang kemudian memproses mereka hingga ke pengadilan. Anak-anak di bawah 13 tahun itu diancam Pasal 363 KUHP berupa pencurian dengan pemberatan. Persidangan ke-4 anak itu masih akan dilanjutkan.

  15. Case Study Pasal 10 Dipenjara/ditahan bersama dengan orang dewasa Dampaknya : Anak mendapatkan kekerasan baik fisik maupun seksual yang dilakukan oleh penghuni dewasa Kasus 1 : Danang dan tiga rekannya dibawa ke polsek setempat di wilayah Kebayoran Baru. Siksaan pertama diterima Danang di kantor polisi ketika penyidik dan oknum polisi memukuli dan menendangi mereka. Pukulan kembali mereka terima ketika masuk ke sel tahanan, yang mayoritas diisi laki-laki dewasa.

  16. Case Study Pasal 14 Anak tidak didampingi oleh penasihat hukum selama menjalani proses peradilan pidana Dampaknya : • Anak mendapatkan kekerasan dan penyiksaan dari aparat kepolisian untuk mendapatkan pengakuan • Anak bisa diancam hukuman pidana yang sama dengan orang dewasa Kasus : Pada tahun 1995, seorang bocah di Lumajang dijerat pasal dengan ancaman hukuman mati. Kini urusan hidup-mati Ma'ruf -bukan nama sebenarnya - yang masih berusia 14 tahun, sepenuhnya berada ditangan majelis hakim. Sebab, Jaksa Imam Sudarmadji menuduh Ma'ruf telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Buyar, teman sekampungnya. Artinya, anak ke empat pasangan Sariman-Sarmi ini diancam hukuman mati atau pidana penjara seumur hidup. Untuk perbuatan itu, ancaman hukuman paling ringan adalah penjara 20 tahun.

  17. Kasus 2 : Dari hasil monitoring Lembaga Advokasi Hak Anak (Laha) terhadap 44 anak yang berada di rumah tahanan (rutan) pada tahun 2004, 66 persen di antaranya mendapatkan kekerasan fisik selama proses hukum tersebut. Bentuk kekerasan yang mereka alami bervariasi, mulai dari disiram, dipukul, digencet, dan lainnya

  18. Case Study Pasal 15 Penggunaan legal term “anak nakal” dan pendefinisian “anak nakal” dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak berpotensi melanggar prinsip legalitas karena anak nakal didefnisikan melanggar ketentuan adat/kebiasaan masyarakat setempat Dampak : Memperluas interpretasi dan diskresi pihak kepolisian dalam menafsirkan “anak nakal”

  19. Pelanggaran KHA dalam Melaksanakan Peradilan Pidana Anak • Ketidaksesuaian substansi instrumen hukum nasional dengan substansi instrumen hukum internasional • KUHP dan instrumen hukum lain yang mengatur ketentuan pidana Penggunaan kalimat barang siapa, legal term ini menunjuk semua orang pada umumnya termasuk di dalamnya anak-anak. Padahal jika merujuk pada instrumen Hukum Hak Asasi Internasional, legal term yang digunakan menyebutkan “anak” atau “seseorang/tersangka/terpidana di bawah umur”. • KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) Belum mengatur secara khusus hukum acara untuk menangani perkara anak, malah UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merujuk pada KUHAP untuk memroses anak yang melakukan tindak pidana • UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak - Batas penetapan usia pertanggungjawaban pidana yang terlalu rendah - Penggunaan legal term “anak nakal” - Mind set pendekatan pemidanaan bukan restorative justice

  20. 4. UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI - Tidak diberikannya kewenangan secara khusus untuk mengambil langkah diskresi dalam menangani masalah anak - Tidak diatur secara khusus polisi yang mempunyai keahlian khusus dalam menangani perkara anak 5. UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI • Tidak ada landasam yuridis untuk mengesampingkan perkara anak • UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman • Hakim tidak diberikan kewenangan secara eksplisit untuk memutuskan penyelesaian perkara anak dengan sistem penanganan restorative justice 7. UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan - Kepala LAPAS berwenang memberikan tindakan disiplin atau menjatuhkan hukuman disiplin terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan yang melanggar peraturan keamanan dan ketertiban di lingkungan LAPAS yang dipimpinnya

  21. Praktek-Praktek Peradilan Pidana Anak • Institusi Kepolisian : • Dari beberapa kasus yang terjadi, metode kekerasan dan penganiayaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terjadi saat penangkapan, interograsi (memeriksa) dalam proses penyusunan Berita Acara Pemeriksaan, dan pada saat ditahan di kantor kepolisian • Kekerasan dan penganiayaan dijadikan metode untuk mendapatkan pengakuan • Tidak ada ruangan khusus tahanan anak 2. Institusi Kejaksaan : • Kekerasan yang dilakukan oleh jaksa memang bukan tindak kekerasan langsung, melainkan kekerasan struktural. Kekerasan ini bersumber dari keengganan jaksa untuk menggunakan kewenangannya untuk mengabaikan perkara anak. 3. Institusi Kehakiman : • Putusan hakim dalam menangani perkara dapat dikatakan telah memraktekkan kekerasan yang dilakukan oleh negara karena seringkali anak harus menjalani hukuman penjara. Padahal hakim mempunyai kewenangan untuk menghentukan perkara.

  22. 4. Institusi Penahanan dan Pemasyarakatan • Kekerasan struktural : • Over capacity • Terbatasnya jumlah Lapas Anak • Tidak ada ruang tahanan khusus untuk anak • Kekerasan Langsung • Kekerasan horisontal : penghuni baru vs penghuni lama • Kekerasan vertikal : tindak kekerasan

  23. Analisis Praktek-Praktek Peradilan Pidana Anak Berbasis KHA Rujukan Yuridis : • KHA : Pasal 3, Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 • Peraturan-Peraturan Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan bagi Anak (United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules)) Adopted by General Assembly resolution 40/33 of 29 November 1985 • Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Remaja (United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (The Riyadh Guidelines)) Adopted and proclaimed by General Assembly resolution 45/112 of 14 December 1990 • Peraturan-Peraturan PBB bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan Kebebasannya (United Nations Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty) Adopted by General Assembly resolution 45/113 of 14 December 1990

  24. Rujukan Yuridis Terkait : - Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Manusia)

  25. Penutup Kekerasan oleh negara terhadap anak yang menghadapi sistem peradilan pidana anak berdasarkan paparan di atas. tidak terlepas dari berbagai faktor berikut • Tidak jelasnya arah politik hukum Pemerintah RI dalam mengimplementasikan ketentuan hukum hak asasi internasional yang telah diratifikasi. Ketidakjelasan ini diterjemahkan dalam produk hukum yang secara substansif malah bertentangan dengan sumber rujukan yuridisnya. Pertentangan ini salah satunya bersumber dari dianutnya paradigma perspektif partikularisme pembuat undang-undang dalam memaknai hak asasi manusia. Paradigma yang dikedepankan Negara Indonesia memiliki perspektif yang lain dalam memaknai hak asasi manusia yakni bersumber pada budaya bangsa Indonesia • Substansi produk hukum yang menyimpang tersebut, pada akhirnya dijadikan rujukan bagi aparat penegak hukum dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam menegakkan sistem peradilan pidana anak. Akibatnya terjadi praktek-praktek pelanggaran hak anak yang sistematis dan terstruktur.

  26. Rekomendasi • Implementasi hukum hak asasi internasional tidak cukup hanya pada ranah substansi hukum, namun ranah tata laksana (struktur) hukum dan ranah budaya hukum juga perlu mendapatkan perhatian yang sama. Namun demikian amandemen produk hukum yang mengimplementasikan instrumen hukum internasional yang secara substansi masih menyimpang perlu dilakukan segera. Langkah ini sangat signifikan untuk merubah praktek-praktek aparat penegak hukum yang bertanggungjawab dalam mewujudkan sistem peradilan pidana anak. • Mengadopsi konsep restorative justice dalam suatu produk hukum yang mengatur secara khusus sistem peradilan pidana anak • Menaikkan anggaran publik yang layak yang secara khusus ditujukan untuk memenuhi hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum • Memperbanyak lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan anak sesuai dengan jumlah kabupaten/kota di Indonesia • Membuat mekanisme pengawasan dan sanksi hukum bagi semua aparat yang bertanggungjawab dalam mewujudkan sistem peradilan anak berbasis hak asasi anak

More Related