1 / 40

Oleh Dr. H.M.HARY DJATMIKO , SH., M S Widyaiswara Utama PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN

PROBLEMATIKA YANG TIMBUL DALAM SENGKETA PAJAK DAN SOLUSINYA UNTUK PENEGAKAN HUKUM MENUJU GOOD GOVERNANCE Makalah Disajikan Dalam “Diskusi dan Bedah Kasus Putusan Pengadilan Pajak”. Oleh Dr. H.M.HARY DJATMIKO , SH., M S Widyaiswara Utama PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN

rocco
Download Presentation

Oleh Dr. H.M.HARY DJATMIKO , SH., M S Widyaiswara Utama PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. PROBLEMATIKA YANG TIMBUL DALAM SENGKETA PAJAK DAN SOLUSINYA UNTUK PENEGAKAN HUKUM MENUJU GOOD GOVERNANCE Makalah Disajikan Dalam “Diskusi dan Bedah Kasus Putusan Pengadilan Pajak” Oleh Dr. H.M.HARY DJATMIKO, SH., MS Widyaiswara Utama PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PERPAJAKAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN R.I

  2. Pernyataan Lord Action • Salah satu pemikiran yang berkembang berkaitan dengan negara dan kekuasaan adalah pernyataan Lord Action yaitu, power tend to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, akan tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan absolut sudah pasti akan menyalahkgunakan).

  3. Regulasi Perpajakan Ideal • Prinsip keadilan (equity), • Kepastian (certainty), • Kecocokan (convenience) • Efisiensi (efficiency)[1][1] Musgrave, Richard A., and Musgrave, Peggy A., Public Finance in Theory and Practice, Third Edition, Asian Studiest Edition, Singapore National Printer (Pte), Singapore, 1983, hal 125 – 132.

  4. Prinsip Uji Standar • teori: • keadilan (equity) • efisiensi (efficiency), • praktikal: • netralitas (neutrality) • kesederhanaan (simplicity) • kepastian (certainty) • likuiditas (liqudity).

  5. Lapangan Hukum Ketatanegaraan • Pembuatan Undang-undang (wetgeving) dilaksanankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) • Pemerintahan (bestuurrechts) dilaksanakan oleh Menteri Keuangan (dhi Direktur Jenderal Pajak) • Penyelesaian perselisihan atau sengketa (geschilbeslichting) ditangani oleh Badan Peradilan Pajak yang bebas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah.

  6. Pemahaman Hukum • tahap pertama hukum tersebut harus diketahui dan dipahami serta diterima oleh masyarakat (knowable, understandable, acceptable)

  7. Kepatuhan dan Kesadaran • Penilaian tingkat kepatuhan (compliance level) diukur dengan ratio antara pajak yang dibayar dengan pajak yang sesungguhnya terutang menurut ketentuan Undang-undang Perpajakan yang berlaku. • Kesadaran dan kepatuhan adalah hal yang sebenarnya berbeda, kepatuhan dapat terjadi karena kesadaran. Wajib Pajak yang mempunyai kesadaran (tax consciusness) diharapkan berhasrat membayar pajak (tax mindness) yang akhirnya menjadi Wajib Pajak yang berdisiplin untuk melaksanakan peraturan.

  8. Penegakan Hukum • Penegakan hukum yang telah digariskan dalam Konstitusi 1945 disebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtstaats) bukan negara Kekuasaan (Matchstaats). Kekuasaan (power), Kekuatan (force), dan wewenang (authority), ketiga-tiganya adalah kekuasaan (hukum) yang berkaitan erat dan sukar untuk dipisahkan.[1][1] Gani, Abdoel., “Hukum dan Politik : Beberapa Permasalahan “ dalam Padmo Wahyono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 157.

  9. Kekuasaan Peradilan • Kekuasaan Peradilan Pajak yang merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Olehkarenanya Pengadilan Pajak bertugas melaksanakan proses peradilan melalui pemeriksaan sengketa pajak dengan proses yang cepat, murah, dan sederhana untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan ketentuan lain yang terkait dengan sengketa pajak yang diperiksa.

  10. Amanat KKN • TAP MPR Nomor: XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 serta Inpres Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah telah mensyaratkan di antaranya adanya pemerintahan yang bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), transparan (terbuka), profesionalisme serta akuntabilitas berikut PerPres Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Penanganan Korupsi. Selanjutnya, asas-asas umum pemerintahan yang baik pada hakekatnya menyangkut tindakan pemerintahan yang mensyaratkan keabsahan hukum (rechtmatigheid) dan ketepatgunaan ((doelmatigheid), yang berlaku sebagai asas hukum modal regulatif.

  11. Asas-asas Pemerintahan Umum Yang Baik • Asas kepastian hukum; • Asas tertib penyelenggaraan negara; • Asas kepentingan umum. • Asas keterbukaan. • Asas propoporsionalitas. • Asas profesionalisme dan • Asas akuntabilitas.

  12. Hak dan Kewajiban • Dalam teori ilmu hukum bahwa kewajiban merupakan pasangan dari hak, di mana hak itu mempunyai korelatif dan sifat hubungan satu sama lain yang dapat digambarkan dan dikelompokkan sebagai berikut:[1] Claim Duty Authorities Resposibilities Power Liability Rights Ligations Immunity Disability ExemptionsDebilities Privilege Inability [1] Curzon, L. B., Jurisprudence, M & E Handbook, 1979.,hal.225

  13. Hak dan Kewajiban • Dalam ketentuan perpajakan bahwa hak-hak yang dimiliki oleh wajib pajak sebagaimana disebutkan dalam ketentuan formal perpajakan (KUP), akan mencakup juga mengenai kekuasaan (authorities) dan kebebasan atau pengecualian (exemptions). Kekuasaan yang saya maksudkan di sini adalah sehubungan dengan hak yang diberikan kepada seseorang untuk, melalui jalur hukum dalam mewujudkan kemauannya untuk menetapkan dan merubah hak-hak, kewajiban-kewajiban dan pertanggungjawaban untuk diri sendiri maupun orang lain. Di mana kewajiban (duty) yang harus dilakukan oleh fiscus merupakan hak atau tuntutan (claim) yang dimiliki oleh wajib pajak, kekuatan (power) yang dimiliki oleh wajib pajak merupakan kekurangan atau pertanggungjawaban (liability), dan hubungan antara hak atau tuntutan (claim) dan kekuatan (power) merupakan kekuasaan (authorities) yang dimiliki oleh wajib pajak, hal yang serupa berlaku juga pada fiskus.

  14. Hak dan Kewajiban • Kebebasan atau pengecualian (exemptions) yang dimiliki oleh wajib pajak pada dasarnya merupakan korelasi hukum sehubungan dengan kekebalan (immunity) dan hak istimewa (privilige) yang dimiliki oleh wajib pajak, karena kekebalan (immunity) merupakan tindakan dari ketidakmampuan (disability), hak istimewa (privilege) yang dimiliki oleh wajib pajak dapat menimbulkan inability, serta hubungan secara penggabungan atau kombinasi ketidakmampuan (disability) dan inability akan melahirkan debilities yang sekaligus merupakan korelasi hukum dari kebebasan (exemptions). Korelasi hukum dari pertanggungjawaban (responsibilities) dan debilities akan melahirkan ligation.

  15. Kewajiban Perpajakan dalam Hukum • kewajiban dimaksud dapat dikelompokkan dalam: • Kewajiban-kewajiban yang mutlak dan nisbi, dalam hukum formal perpajakan kewajiban mutlak diilustrasikan kepada wajib pajak badan keharusan untuk menyelenggarakan pembukuan pajak, kewajiban nisbi pada wajib pajak orang pribadi untuk menyelenggarakan pencatatan/pembukuan dan penggunaan norma penghitungan pajak. Tegasnya kewajiban bersifat mutlak tidak memiliki pasangan dengan hak dan sebaliknya sifat nisbi memiliki pasangan dengan hak yang saya ilustrasikan adanya kelebihan pembayaran pajak dan meminta pengembalian beserta bunganya sebesar 2% setiap bulan. • Kewajiban-kewajiban publik dan perdata. • Segala ketentuan yang diatur dalam UU KUP, sepanjang menyangkut mengenai kewajiban perpajakan pada hakekatnya merupakan kewajiban publik yang selalu berkorelasi dengan hak publik. Seperti yang saya ilustrasikan dalam hal wajib pajak akan memenuhi untuk melakukan pembayaran pajak sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Pasal 9 UU KUP 1984. Sedangkan kewajiban privat, saya contohkan bagi wajib pajak yang telah berutang pajak, di mana yang bersangkutan wanprestasi dan salah satu harta kekayaan pribadinya terikat dengan suatu jaminan atau hak tanggungan dengan pihak ketiga. Dalam hal penagihan utang pajak, negara memiliki hak tagih utama dengan menyimpangi segala ketentuan yang diatur dalam Pasal 1139 dan 1149 KUH Perdata dan Pasal 80 dan 81 Kitab Undang-undang Hukum Dagang. • Kewajiban-kewajiban positif dan negatif • Implementasi kewajiban positif dalam bidang perpajakan, saya contohkan dalam pembayaran atas penghasilan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dimana penjual membayar pajak berikut penyerahan tanah dan/atau bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 PP 48 Tahun 1994 jo. PP 27 Tahun 1996 serta PP 79 Tahun 1999, pelaksanaan ketentuan Pasal 16 D UU PPN 1984. Kewajiban negatif yang menitikberatkan pada ketiadaan berbuat sesuatu yang saya contohkan, pada kewajiban fiscus untuk tidak memproses keberatan yang tidak memenuhi syarat formal yakni lewat waktu dan tidak melakukan pembayaran lunas atas utang pajaknya.

  16. Kewajiban Perpajakan dalam Hukum • Kewajiban-kewajiban universal, umum dan khusus • Kewajiban universal yakni kewjiban wajib pajak yang menyangkut timbul utang pajak karena undang-undang (tatbestand) adalah suatu bentuk dari perikatan hukum, kewajiban umum adalah yang ditujukan pada wajib pajak tertentu, misalnya penentuan kategori wajib pajak luar negeri yang tinggal di Indonesia kurang dari 183 hari dalam satu tahun pajak. Sedang kewajiban khusus mengatur mengenai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (tax treaty) di antaranya mengatur mengenai penerapan Negara tempat perusahaan induk berkedudukan melaksanakan pembebasan dengan progresi (exemption with progression) sehingga deviden yang diterima oleh anak perusahaan ikut dihitung tetapi hanya untuk keperluan progres saja. • Kewajiban-kewajiban primer yang memberikan sanksi • Kewajiban primer di sini adalah yang tidak timbul dari perbuatan yang tidak melawan hukum, di mana saya memberikan contoh pada kajian Pasal 8 ayat (3) UU KUP yang menyebutkan ….., terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta denda administrasi sebesar dua kali jumlah pajak yang kurang dibayar. Kewajiban yang memberikan sanksi adalah semua kewajiban Wajib Pajak yang saya sebutkan di atas, semata-mata timbul dari perbuatan melawan hukum yang sanksinya telah diatur dalam Pasal 38 dan 39 UU KUP.

  17. Hak Perpajakan dalam Hukum • Hak-hak yang sempurna dan tidak sempurna; Hak sempurna yang saya maksudkan adalah hak yang memiliki unsur paksaan, dalam undang-undang perpajakan salah satunya saya contohkan pelaksanaan Pasal 16 jo. Pasal 36 UU KUP mengenai peninjauan kembali, Pasal 25 mengenai keberatan dan Pasal 27 mengenai banding di antaranya menyangkut jangka waktu penyelesaian yang tidak diputus dalam tempo 12 bulan. Sebaliknya hak tidak sempurna menyangkut daluwarsa pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UU KUP. • Hak-hak utama dan tambahan; Hak utama negara terhadap wajib pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU KUP di mana menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen atas harta kekayaaan milik wajib pajak, dengan mengesampingkan hak mendahului lainnya terkecuali biaya perkara pelelangan dalam Pasal 1139 angka 1 KUH Perdata, biaya penyelamatan suatu barang dalam Pasal 1139 angka 4, biaya perkara karena pelelangan dan warisan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1149 angka 1 serta hak tagihan seorang komisioner sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 80 dan 81 KUH Dagang. Sedangkan hak tambahan pada dasarnya merupakan pelengkap daripada hak utama, misalnya klausula penagihan dengan paksa diikuti dengan tindakan pelelangan.

  18. Hak Perpajakan dalam Hukum • Hak-hak publik dan perdata; Hak publik yang saya maksudkan di sini adalah yang ada pada wajib pajak sebagaimana disebutkan dalam ketentuan formal dan material Undang-undang Pajak. Di samping itu, hak perdata berkaitan dengan tuntutan terhadap ganti rugi terhadap kekeliruan dalam penerapan pajak saya contohkan kesenjangan dalam penerapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) kaitannya dengan pembebasan tanah, sehingga akibat kekeliruan dalam penerapan wajib pajak dirugikan sehubungan dengan pembayaran akibat akuisisi pembebasan tanah. • Hak-hak positif dan negatif; Hak positif dalam ketentuan formal perpajakan dimana menuntut wajib pajak untuk melakukan perbuatan-perbuatan positif, sudah barang tentu korelasinya dengan kewajiban fiscus, atau lembaga peradilan doleansi pajak untuk berbuat sesuatu, saya ilustrasikan hak atas keberatan untuk memberikan ulasan/uraian keberatan mengenai perbedaan pandangan antara beda waktu dan beda tetap dari wajib pajak, dan hak atas banding pajak untuk hadir dalam sidang tertutup yang diijinkan oleh Pengadilan Pajak. Demikian halnya mengenai hak negatif dalam perpajakan adalah ketiadaan berbuat bagi wajib pajak untuk tidak melakukan sesuatu, sebagai contoh kelebihan membayar pajak dalam akhir tahun, di mana dalam SPT disebutkan dikompensasikan, restitusi atau disumbangkan kepada Negara, yang oleh wajib pajak tidak diisi atau disebutkan dari permintaan isian dimaksud.

  19. Hak Perpajakan dalam Hukum • Hak-hak milik dan pribadi. Hak milik dalam hubungannya dengan pajak bertalian dengan kedudukan suatu barang/benda yang menurut hukum dapat dipindahtangankan, hak pribadi bertalian dengan kedudukan wajib pajak yang secara hukum tidak dapat dialihkan.

  20. Perlindungan Hukum • Dalam konsep hukum, Vinculum juris memuat pengakuan hak kepada pihak-pihak yang terkait dalam hubungannya kewajiban memiliki hubungan yang sangat erat, maka implementasi ketetentuan perpajakan haruslah menempatkan pengakuan akan harkat dan martabat secara equelbrium, di mana hak selalu berbarengan dengan kewajiban yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila dan Konstitusi Negara Undang-undang Dasar 1945. Mengingat dalam hukum maka hak selalu berpasangan dengan kewajiban yang memiliki ruang lingkup dan makna dalam arti sempit, adanya kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas serta dapat digolongkan pada kewajiban-kewajiban yang bersifat (a) mutlak dan nisbi (b) publik dan perdata, (c) postip dan negatif, (d) umum dan khusus, (e) primer yang bersifat memberikan sanksi.

  21. Kewenangan dalam Hukum • Bagi aparatur Direktorat Jenderal Pajak (Pemerintah) sebagai norma pemerintahan (bestuurnormen); • Bagi masyarakat (Wajib Pajak) sebagai alasan pengajuan gugatan/banding terhadap tindakan pemerintahan (beroepsgronden); • Bagi Hakim (Peradilan Pajak) asas keabsahan sebagai fungsi untuk melakukan pengujian suatu tindakan pemerintahan (tooetsingsgronden)- yang merupakan Fungsi Normatif Hukum Administrasi Dalam Mewujudkan Pemerintahan yang bersih.

  22. Good Governance • Pertama, adanya partisipasi masyarakat (Wajib Pajak) secara aktif yang berkeinginan dalam menjalankan tata tertib sosial yaitu, menempatkan nilai-nilai kesopanan dan kepatutan secara teratur (ajeg) dalam memenuhi kewajiban perpajakan, yang dikenal sebagai tata nilai atau adat istiadat. Untuk mewujudkan paradigma peradilan pajak dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat dengan biaya murah, cepat dan sederhana serta mendorong kehidupan demokratisasi pemerintahan, maka dalam proses kebijakan perpajakan harus melibatkan peran serta masyarakat dalam menuju suatu tertib sosial. Di era demokratisasi peranserta Wajib Pajak tersebut terhadap ketidakpuasan terhadap keputusan Pengadilan Pajak dapat diwujudkan penyalurannya dalam (1) media masa (2) penggunaan struktur mediasi terakrediatasi (lembaga perwakilan sosial) dan (3) partisipasi secara langsung yang dapat mengakses setiap informasi dan kepentingan perpajakan dengan pemerintah.

  23. Good Governance • Kedua, adanya landasan dan kepasitian hukum (rule of law) yakni proses pemajakan untuk memperoleh dana sumber penyediaan barang dan jasa public serta pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus selalu mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan yang jelas,pasti dan adil dengan mengedapankan prinsip keseimbangan hak dan kewajiban. Dalam prinsip ini mengedepankan hak dan kewajiban serta sanksi juga masalah penegakkan hukum yang kiranya harus didukung secara konstruktif oleh segenap aparat penegak hukum. Dengan keberadaan Direktorat Intelijen dan Penyidikan pada Direktorat Jenderal Pajak merupakan salah jawaban sementara dari kepudulian atas pentingnya masalah penegakan hukum perpajakan, di samping fungsi Pengadilan Pajak sebagai lembaga pengayom hukum.

  24. Good Governance • Ketiga, semangat transparansi baik dari administrasi perpajakan, baik dari masyarakat pembayar pajak maupun para pihak yang tekait dalam system perpajakan. Transparansi dalam proses pemajakan diperlukan akan hal-hal berikut : (a) ketersediaan dan dapat diaksesnya informasi, (b) kejelasan dan tanggungjawab di antara dan dalam lembaga terkait, (c) system dan kapasitas serta jaminan informasi yang tersistematik, yang kesemuanya mencakup kebijakan, pemungutan, penggunaan uang pajak dari masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rangka membangun transparansi perpajakan dalam masyarakat dalam mendorong voluntary compliance yang harus dilakukan secara sistematik dengan (1) formulasi kegiatan ekonomi dan transaksi yang dapat menimbulkan utang pajak sesuai dengan Common Identity Number, (2) Pemberlakuan Common Identity Number dengan reform system kependudukan, (3) meminimalisasi transaksi tunai (cash transaction) dengan mediasi perbankan dengan melakukan kerjasama dengan PPATK (Pusat Penelitian dan Analisa Transaksi Keuangan), (4) kerahasiaan data perpajakan dan (5) kebudayaan dan integritas pribadi yang merupakan kunci kepercayaan public (public trust).

  25. Good Governance • Keempat, semangat responsif mengandung makna bahwa perpajakan selalu peka dan fleksibel serta tanggap terhadap perubahan sosial, politik, hukum, ekonomi dalam menunjang kebutuhan publik. Olehkarena itu, agar selalu aktual, maka hukum pajak diharapkan dan harus mampu serta dapat menyesuaikan dengan system hukum dalam metode bisnis dan dengan mengantisipasi semangat globalisasi perdagangan bebas sebagaimana yang telah disepakati dalam kesepakatan 124 Menteri Negara di dunia yang membidangi dunia perdagangan yang ditetapkan di Marrakas pada tanggal 14 April 1994.

  26. Good Governance • Kelima, keadilan (equity) dalam system perpajakan merupakan transfer sumber daya dari sektor privat ke sektor public yang dapat mengurangi belanja dan kesejahteraan masyarakat, beban pajak harus dibayar dan dapat dibebankan serta didistrubusikan secara adil dan merata baik secara horizontal maupun vertical (Musgrave and Musgrave : 1989) karena keadilan salah satu penggerak voluntary compliance. Di mana untuk menegakkan keadilan(equity atau fairness) menghendaki adanya keseimbangan apa yang menjadi hak dan kewajiban yang merupakan hubungan timbal sekaligus merupakan follow up dari penegakkan hukum(law enforcement). Olehkarenanya perlindungan hukum terhadap Wajib Pajak perlu mendapatkan respon positip dari lembaga pengayom hukum yakni Pengadilan Pajak.

  27. Good Governance • Keenam, adanya visi stratejik dari perpajakan diharapkan akan memiliki pandangan ke depan yang dapat mempertimbangkan deminsi waktu kini dan akan datang, hal ini sejalan dengan semboyan “ Direktorat Jenderal Pajak Bersama Anda Membangun Bangsa”. • Ketujuh,efektivitas dan efisiensi yakni menentukan sasaran-sasaran yang ingin dicapai mulai dari pendataan, pengolahan serta pemungutan secara efektif dan efisiensi. Sedangkan di sisi peradilan pajak melalui peradilan yang murah, cepat dan sederhana.

  28. Good Governance • Kedelapan, adanya profesionalisme dalam arti untuk menjaga citra (image) administrasi perpajakan merupakan kebutuhan fundamental untuk memberlakukan asas ini. Sedangkan tuntutan dari Pengadilan Pajak akan keberadaan para Hakim yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang hukum dan perpajakan. • Kesembilan, adanya semangat (budaya) akuntabilitas bahwa setiap kegiatan keharusan untuk dipertanggungjawabkan sebagai rakyat dan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Perwujudan di bidang peradilan pajak menghendaki bahwa putusan akhir dari sengketa pajak merupakan perwujudan yang dapat dipetanggungjawabkan baik kepada lembaga, masyarakat dan Pemerintah maupun terhadap Tuhan Yang Maha Esa. • Kesepuluh, supervisi dimaksudkan sebagai langkah akhir dari pengukuran kinerja baik instansi pemerintah maupun lembaga peradilan yang dewasa ini banyak menjadi sorotan sejak timbulnya iklim demokratis dalam pemerintahan.

  29. MENGENAI SURAT PERMOHONAN BANDING/GUGATAN • Secara umum tidak memenuhi syarat Pasal 32 sampai dengan Pasal 36 Undang-Undang No. 17 Tahun 1997 atau Pasal 35 sd 39 UU No. 14 Tahun 2002. Yaitu misalnya : • Surat Banding diajukan melebihi jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding (dihitung dari tanggal cap pos pengiriman). • Surat Banding diajukan terhadap beberapa keputusan keberatan. • Surat Banding tidak disertai alasan-alasan yang jelas terhadap koreksi Terbanding. • Surat tidak mencantumkan tanggal terima surat keputusan yang dibanding. • Surat Banding diajukan tanpa membayar terlebih dahulu pajak yang terutang / tidak melampirkan Surat Setoran Pajak (SSP), Surat Setoran Bea dan Cukai (SSBC), Pemindahbukuan (Pbk), atau pajak yang terutang dibayar tetapi telah melebihi jangka waktu 3 bulan pengajuan banding. • Surat Banding tidak dilampiri keputusan keberatan. • Tidak memanfaatkan jangka waktu 3 bulan pengajuan banding untuk melengkapi Surat Banding. • Gugatan diajukan melebihi jangka waktu 14 hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat. • Tidak melunasi biaya pendaftaran sebesar satu juta rupiah atau biaya pendaftaran dibayar tetapi melebihi jangka waktu 14 hari pengajuan gugatan.

  30. MENGENAI SURAT PERMOHONAN BANDING/GUGATAN • Substansi yang dibanding di luar keputusan yang dibanding atau menambah pokok sengketa yang dibanding dan tanpa alasan yang jelas. • Ditandatangani oleh bukan yang berhak (pengurus) atau tanpa Surat Kuasa Khusus. • Surat Kuasa Khusus tidak bermaterai atau tanggalnya setelah tanggal Surat Banding

  31. SURAT URAIAN BANDING/SURAT URAIAN GUGATAN • Tidak diserahkan sesuai waktu yang ditentukan. • Tidak membantah hal-hal yang substansial sebagaimana yang tercantum dalam Surat Uraian Banding. • Tidak tegas menerima atas banding Pemohon Banmding terhadap koreksi yang dilakukan. • Tidak dilampiri bukti/data pendukung yang berkaitan dengan pokok sengketa.

  32. SURAT BANTAHAN • Tidak diserahkan sesuai waktu yang ditentukan. • Tidak membantah hal-hal yang substansial sebagaimana yang tercantum dalam Surat Uraian Banding. • Tidak memberikan argumentasi tambahan atau bukti tambahan. • Menambah pokok sengketa. • Tidak tegas bahwa koreksi Terbanding adalah benar.

  33. WAKIL PEMOHON BANDING / PENGGUGAT YANG HADIR DALAM PERSIDANGAN • Pengurus hadir tetapi tidak dibuktikan dengan akte pendirian. • Yang hadir bukan karyawan dan belum memiliki izin kuasa hukum. • Yang hadir karyawan tetapi tidak membawa Surat Kuasa dari pengurus dan / atau tidak dibuktikan dengan pemotongan PPh Pasal 21. • Kuasa hukum menguasakan ke orang lain tetapi dalam surat kuasa tidak ada kuasa subsitusi atau orang tersebut tidak memiliki izin kuasa hukum. • Surat Kuasa tidak ditandatangani oleh pengurus atau direksi. • Surat Kuasa untuk beberapa keputusan Terbanding.

  34. PERSIAPAN WAKIL PEMOHON BANDING / PENGGUGAT DALAM PERSIDANGAN • Tidak hadir pada jadwal sidang yang telah ditetapkan apabila Majelis memerlukan keterangan dari Pemohon Banding atau tidak hadir tepat waktu. • Kuasa yang hadir tanpa Surat kuasa atau tanpa izin Kuasa Hukum tidak dapat memberikan keterangan • Tidak membawa akte pendirian perusahaan untuk membuktikan berhak atau tidak berhak penandatangan Surat Banding atau pemberi kuasa. • Tidak memiliki persiapan sebelumnya untuk memberikan keterangan atau argumentasi mengenai pokok permasalahan yang disengketakan baik untuk sengketa bersifat formal maupun materil. • Tidak memiliki persiapan untuk membantu menjelaskan masalah-masalah yang disengketakan.

  35. PERSIAPAN WAKIL PEMOHON BANDING / PENGGUGAT DALAM PERSIDANGAN • Tidak membawa pembukuan dan bukti tidak lengkap sehubungan dengan koreksi Terbanding. • Tidak membawa pembukuan bukti asli sehubungan dengan pembayaran pajak yang terutang. • Tidak membawa bukti-bukti atau bukti tidak lengkap sehubungan dengan koreksi Terbanding. • Tidak membawa bukti untuk pemenuhan ketentuan formal seperti bukti penyampaian dokumen dalam proses pemeriksaan pajak, pada saat keberatan, tangal diterima keputusan keberatan serupa amplop pengiriman keputusan keberatan, keterangan mengenai pengajuan surat banding terlambat karena force mayeur. • Alat-alat bukti belum termaterai. • Bukti palsu termasuk pembukuan dan data pendukung yang dibuat kemudian/baru. • Pengakuan / penyataan yang tidak konsisten atau tidak benar. • Tidak memanfaatkan saksi atau saksi ahli.

  36. PERSIAPAN WAKIL TERBANDING / TERGUGAT DALAM PERSIDANGAN • Tidak hadir pada jadwal sidang yang telah ditetapkan atau tidak hadir tepat waktu. • Tidak membawa Surat tugas atau identitas Terbanding. • Tidak memberikan pengembalian pajak. • Tidak melaksanakan putusan BPSP/PP. • Tidak membawa ketentuan peraturan perundangan perpajakan yang menjadi alasan yuridis koreksi. • Tidak menguasai permasalahan pokok sengketa atau yang hadir bukan pejabat yang menguasai permasalahan.

  37. PUTUSAN BPSP/PP DAN PELAKSANAANNYA • KPP/DJP terlambat melaksanakan Putusan BPSP/PP(>30 hari). • Tidak memberikan imbalan bunga. • Tidak memberikan pengembalian pajak. • Tidak melaksanakan Putusan BPSP/PP. • Putusan BPSP/PP diajukan gugatan ke PTTUN oleh KPP/DJP. • KPP terkait atau pemohon banding terlambat atau tidak menerima Putusan BPSP/PP (dalam waktu 30 hari sejak pengucapan putusan) karena kembali pos/alamat tidak jelas. • Putusan BPSP/PP minta dikirim ke alamat Kuasa Hukum, sedangkan alamat di Surat Banding adalah alamat Pemohon Banding.

  38. UNDANG- UNDANG PENGADILAN PAJAK • Pasal 35 yang memberikan persyaratan pengajuan banding harus membayar pajak terutang terlebih dahulu atau pembayaran harus dalam jangka waktu 3 bulan pengajuan banding sangat memberatkan Wajib Pajak yang mencari keadilan. • Jangka waktu gugatan 14 hari yang terlampau sempit. • Putusan PENGADILAN PAJAK yang merupakan putusan akhir dan bersifat tetap, sehingga tidak ada upaya hukum lain. • Tidak dapat memeriksa keputusan keberatan atas surat tagihan Pajak, Keputusan Peninjauan Kembali karena bukan wewenang PP kecuali atas Bea Masuk dan Cukai. • Gugatan yang hanya mengatur atas pelaksanaan penagihan pajak terhadap Surat Paksa, Surat Sita, dan Surat Lelang sedangkan pada Pasal 23 KUP UU No. 6 Tahun 1983 stdd UU No. 16 Tahun 2000 lebih luas.

  39. LEMBAGA ATAU INSTANSI BPSP • Sengketa pajak yang seharusnya menjadi kewenangan BPSP atau Putusan BPSP diajukan banding/gugatan ke lembaga peradilan lain (PTUN, PTTUN, MA) tetapi putusannya tidak dapat dieksekusi BPSP atau DJP. • Putusan BPSP merupakan putusan akhir dan bersifat tetap dan bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara, tetapi putusannya masih ada yang diajukan ke PTTUN sampai ke MA. • BPSP bukan badan peradilan yang berpuncak ke Mahkamah Agung berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehakiman. • Tidak upaya hukum lain atas putusan BPSP dengan putusan menolak atau mengabulkan sebagian kecuali dengan Putusan Tidak Dapat Diterima dapat diajukan semacam peninjauan kembali ke Direktur Jenderal Pajak atau ke badan peradilan yang berwenang dalam hal putusannya berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang BPSP.

  40. LEMBAGA PERADILAN PAJAK • Dalam Pasal 23 KUP UU No. 6 Tahun 1983 Stdd UU No. 16 Tahun 2000, sudah diatur gugatan dapat diajukan ke BPP terhadap: • Pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang. • Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan (selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat 1 dan Pasal 26). • Keputusan pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak. • Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.

More Related