1 / 3

Negara Langka Cahaya

Negara Langka Cahaya

lucius
Download Presentation

Negara Langka Cahaya

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Negara Langka Cahaya Seorang sahabat pernah melakukan penelitian informal tentang kata apa yang paling sering digunakan masyarakat pasca kejatuhan orde baru. Tanpa mempertanggungjawabkan metodologinya, di mana ia mengambil sample-nya, serta persyaratan riset formal lainnya, ia sampai pada kesimpulan sederhana: “Aduh!” Kata “Aduh” telah menjadi ungkapan tidak sadar masyarakat dalam menanggapi banyak keadaan di masyarakat. Harga bahan bakar minyak meningkat pesat, “Aduh!” Lembaga tertinggi hukum Mahkamah Agung diberitakan dibelit skandal, “Aduh!” Penyaluran kompensasi kenaikan bahan bakar untuk rakyat miskin memakan nyawa, “Aduh!” Bom meledak lagi di Bali, “Aduh!” Ada berita di televisi kalau sahabat di tingkatan bawah mulai belajar meminum air mentah karena minyak tanah tidak terbeli, “Aduh!” Aduh, aduh, dan aduh. Setiap sahabat yang pernah mempelajari alam bawah sadar tahu, kalau salah satu indikator apa yang terjadi di kedalaman bawah sadar sana salah satunya bisa dilihat melalui apa yang terungkap melalui keseleo lidah (slip of the tongue). Dan kata “aduh” adalah salah satu kata yang terungkap dengan mudahnya ke permukaan, di benak tidak sedikit orang. Ia memang bisa menjadi cermin dari banyak sekali hal. Namun susah mengingkari kenyataan, kalau ini adalah cerminan dari tantangan hidup yang tidak ringan. Mudah-mudahan ini tidak merembet ke mana-mana. Karena rembesan persoalan seperti ini mudah sekali tergelincir ke dalam anarki-anarki yang berbahaya. Dan setelah melihat respon masyarakat terhadap sejumlah tragedi seperti bom Bali II yang diikuti oleh waktu berduka yang jauh lebih pendek, semangat pulih kembali yang jauh lebih tinggi, tampaknya ada tanda-tanda kuat kalau kita sebagai bangsa sedang bertumbuh meyakinkan menjadi semakin dewasa. Seperti sebuah pepatah tua: “Bad weather makes good timber”. Cuaca buruk hanya menyisakan pohon-pohon dengan kualitas yang mengagumkan. Demikian juga dengan bangsa ini. Tidak terhitung jumlahnya bencana, petaka, cobaan. Dan hanya persoalan waktu, setelah semua ini berkurang (atau malah berlalu), yang tersisa adalah sekumpulan hidup dan kehidupan yang kokoh mengagumkan.

  2. Mendengar cerita seperti ini, seorang sahabat bertanya sederhana, “Kalau demikian ceritanya berarti rakyat lebih kenyal dibandingkan pemerintah?” Bukankah seyogyanya pemerintah malu pada rakyat? Tidak mudah menjawabnya. Terutama di zaman di mana kebanyakan berita menempatkan pemerintah sebagai satu-satunya ‘terdakwa’ dari setiap kesalahan. Virus flu burung merebak, pemerintah dianggap kurang cepat tanggap. Kenaikkan BBM meroket, pemerintah dituduh hanya mementingkan diri sendiri. Korupsi belum terberantas secara rapi, pemerintah disebut tidak serius. Jadi terdakwa lagi, jadi terdakwa lagi. Sekali lagi tidak mudah jadi pemerintah di zaman seperti ini. • Coba hitung sendiri berapa tokoh yang demikian kokoh ketika di luar birokrasi, namun setelah dicoba jadi presiden, menteri, dan jabatan tinggi lainnya, tetapi toh harus meninggalkan kursi kekuasaan tidak sebagai pemenang keadaan. Sebagian malah jelas-jelas keluar sebagai pecundang keadaan. Menyalahkan, mengkritik, memojokkan dengan kata-kata itu mudah. Namun menunjukkan ke orang kalau kita bisa menangani keadaan melalui kinerja-kinerja yang nyata, sungguh bukan sebuah tantangan yang sederhana. • Di tengah tantangan yang tidak sederhana ini, banyak yang sependapat kalau krisis mana pun seperti berjalan di terowongan gelap. Setiap arah yang ditempuh diikuti keragu-raguan yang mendalam. Apalagi Indonesia, terowongannya tidak saja meragukan tetapi juga panjang. Dan logika paling sederhana mengajarkan, kegelapan hanya bisa diusir dengan menghidupkan lentera (baca: cahaya). Pertanyaannya kemudian, apa yang bisa menjadi lentera di zaman yang serba gelap ini? Ada yang menjawabnya dengan keteladanan. Ada yang membisikkan kata doa. Ada juga yang penuh keyakinan menyebut jalan-jalan kerja.

  3. Keteladanan memang sejenis cahaya. Dan keteladanan yang diwariskan pendahulu kita bisa menjadi lentera-lentera berguna. Sebutlah proklamator Soekarno-Hatta, kedua-duanya menjadi lentera-lentera yang berbeda. Bila tampil agak high profile, berani banyak bicara bilamana perlu menantang orang, jadilah kehidupan menyerupai Bung Karno. Jika muncul sedikit low profile, sedikit bicara banyak bekerja, ikhlas di depan kehidupan,maka kehidupan bergerak mirip-mirip Bung Hatta. Doa adalah lentera yang lain lagi. Terlalu kecil sekaligus terlalu terbatas kemampuan kata-kata dan logika manusia dalam menerangkan kedalaman doa. Sejumlah pendoa yang amat mengagumkan (sebutlah salah satu contoh yang paling dikagumi pernah bernama Jalalludin Rumi atau Santo Franciscus) bahkan mengisi akhir-akhir hidupnya dengan lebih banyak diam. Seperti sedang menunjukkan doa itu terlalu besar cahayanya untuk bisa dimengerti logika dan kata-kata manusia. Begitu ia bisa diungkapkan (apalagi penuh dengan ego) maka cahayanya pun semakin redup. Bukan cahaya doanya yang meredup, namun karena kaca pemantulnya yang kotor berdebu. Makanya, dalam salah satu buku suci pernah ditulis jernih: “Be still and know that I am God“. Hanya dalam hening dan sepi, cahaya maha sempurna itu bisa demikian menerangi. Mendengar jawaban seperti ini, seorang anak muda bertanya, “Kalau demikian wacana manusia cenderung memperpanjang kegelapan dibandingkan membukakan cahaya terang kejernihan?” Ah, kata-kata dan logika lagi yang muncul. • Jalan-jalan kerja ini juga sebuah lentera. Sebagaimana diyakini banyak sahabat, kerja adalah bentuk doa yang paling nyata. Melalui kerja tangan-tangan Tuhan menjadi terlihat oleh mata manusia. Sebutlah seorang ayah yang berdosa bisa menyekolahkan putranya. Doa itu dijawab nyata melalui kerja. Atau doa seorang Ibu agar putrinya cepat dapat kerja. Ini juga menjadi nyata melalui kerja. Lentera kerja bertutur nyata ke kita, kalau mau keluar dari kegelapan wujudkan kesempurnaan Tuhan di jalan-jalan kerja. Entah Anda wartawan, hartawan, birokrat, orang biasa, ibu rumah tangga, secara bersama-sama kita bisa menghidupkan lentera untuk negara di jalan yang sama: kerja!

More Related