1 / 23

MODUL 3 HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

MODUL 3 HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL. Widodo, S.Pd. Pendahuluan.

Download Presentation

MODUL 3 HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. MODUL 3HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Widodo, S.Pd

  2. Pendahuluan Hak asasi manusia dan demokratisasi merupakan dua isu yang melanda hampir seluruh belahan dunia dewasa ini. Harus diakui, dalam percaturan dunia, masalah hak asasi manusia masih harus diperjuangkan agar perlindungan hak asasi manusia benar-benar menjadi kenyataan.

  3. Kegiatan Belajar 1Hakikat Kedaulatan Negara dalam Masyarakat Internasional

  4. Kata kedaulatan berasal dari kata Inggris sovereignty atau souverainete dalam bahasa Perancis atau sovranus dalam bahasa Italia. Secara etimologi, kedaulatan berasal dari bahasa Latin superanus yang mengandung arti yang tertinggi (suppreme). Dalam maknanya sebagai kekuasaan yang tertinggi, makna kedaulatan telah diakui sejak Aristoteles dan sarjana hukum Romawi. Pengertian ini sampai batas-batas tertentu masih dianut hingga abad menengah, dengan memahami kedaulatan sebagai wewenang tertinggi dari suatu kesatuan politik.

  5. Semula kedaulatan dikaitkan dengan kekuasaan gereja yang mutlak. Sejalan dengan bergesernya pusat kekuasaan ke tangan penguasa sekuler, muncul beberapa teori baru tentang pemusatan kekuasaan tertinggi. Sebagai contoh Dante menyatakan kekuasaan tertinggi dipusatkan pada kekaisaran Romawi Suci. Perkembangan selanjutnya terjadi ketika para ahli ilmu politik memandang makna kedaulatan dari dua sudut. Pertama dari sudut inteern kedaulatan dipandang sebagai kekuasaan tertinggi dalam suatu kesatuan politik. Jean Bodin adalah ahli ilmu politik berkebangsaan Perancis yang memandang kedaulatan dalam hubungannya dengan negara, yakni sebagai ciri dan atribut negara, sekaligus sebagai pembeda negara dari persekutuan lainnya. Sudut pandang intern seperti diungkapkan Bodin sering pula disebut paham monisme tentang kedaulatan.

  6. Kedua dari sudut ekstern kedaulatan berkaitan dengan aspek mengenai hubungan antarnegara. Sudut pandang kedua dipopulerkan oleh Grotius, yang belakangan dikenal sebagai bapak hukum internasional. Makna kedaulatan dalam konteks hubungan antarnegara menjadi semakin penting setelah ditandatangani Konferensi Montevideo tahun 1933. Menurut konferensi ini, sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki kualitas berikut : (1) penduduk yang tetap, (2) wilayah tertentu, (3) pemerintah, dan (4) kemampuan mengadakan hubungan dengan negara-negara lain.

  7. Unsur keempat merupakan unsur yang khusus dalam kaitannya dengan negara sebagai subjek hukum internasional. Bagi sarjana hukum internasional, unsur ini pulsa yang menjadi unsur konstitutif yang terpenting. Pandangan ini berbeda dengan konsepsi ilmu politik, yang menganggap tiga unsur pertama sebagai unsur konstitutif suatu negara. Negara, sebagai subjekutama dalam sistem hukum internasional dan pencipta hukum di dalam sistem tersebut, mempunyai tugas primer, yaitu berperan dalam perumusan ketentuan-ketentuan yang membatasi tingkah lakunya.

  8. Sebagai kekuasaan negara yang tertinggi, pengertian kedaulatan mengandung dua pembatasan penting, yaitu (1) kekuasan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu, dan (2) kekuasaan itu berakhir di mana kekuasan suatu negara lain mulai. Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia internasional, paham kedaulatan yang terbatas tadi mengandung konsekuensi khusus. Semua negara sama-sama merdeka dan memiliki derajat yang sama, sehingga masing-masing negara tidak diwajibkan untuk tunduk pada keputusan Mahkamah Internasional,kecuali jika negara itu memberitahukan terlebih dahulu persetujuannya untuk mematuhi keputusan itu.

  9. Kegiatan Belajar 2 Individu sebagai Subjek Hukum Internasional

  10. Pendapat yang menyatakan bahwa negara merupakan subjek hukum internasional yang utama masih memiliki pengikut yang banyak. Sejalan dengan itu tumbuh pula pengakuan bahwa negara bukan lagi satu-satunya subjek hukum internasional. Pendapat terakhir berkembang pesat sejak usainya Perang Dunia II. Di samping negara, tahta suci, Palang Merah Internasional, organisasi internasional, orang per orang, bahkan pemberontak dan pihak dalam sengketa diangkat sebagai subjek hukum internasional.

  11. Dilihat dari substansinya, hukum internasional kini semakin banyak memperhatikan hak dan kepentingan individu dan subjek hukum lain di luar negara. Meskipun demikian, untuk sebagian besar, hukum internasional masih mengatur hubungan antarnegara, dan munculnya individu dan badan hukum lain sebagai subjek hukum internasional dinilai oleh sebagian ahli hukum internasional sebagai suatu pengecualian. Sejalan dengan kecenderungan di atas, pengakuan individu sebagai subjek hukum internasional mengalami perkembangan cukup pesat. Kini individu bukan saja dapat mengadukan perkara ke Mahkamah Internasional, tetapi dapat dianggap langsung bertanggung jawab sebagai individu bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap peri kemanusiaan dan tidak dapat berlindung di balik negaranya.

  12. Bahkan bila individu merasa telah diperkosa hak-haknya oleh negaranya, ia dapat mengadukan negara yang bersangkutan kepada Komite Hak-hak Manusia. Namun prosedur ini hanya dijalankan bila negara tempat di mana individu menjadi warganya telah meratifikasi Kovenan dan Protokol Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.

  13. Kegiatan Belajar 3 Perjanjian Internasional dan Proses Pembuatannya

  14. Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional dan bertujuan untuk melahirkan akibat-akibat hukum tertentu. Termasuk ke dalam perjanjian internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara dengan negara, antara negara dengan organisasi internasional, antara organisasi internasional yang satu dengan yang lainnya, dan perjanjian yang dibuat antara Tahta Suci dengan negara-negara. Jika dilihat dari pihak-pihak yang terlibat, perjanjian internasional dapat dibedakan atas perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral. Perjanjian bilateral adalah perjanjian yang diadakan oleh dua pihak, seperti perjanjian antara Republik Indonesia dan Filipina tentang pemberantasan penyelundupan dan bajak laut, atau perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Rakyat Cina pada tahun 1955 tentang dwi kewarganegaraan. Sedangkan perjanjian multilateral, adalah perjanjian yang diadakan oleh banyak pihak. Perjanjian ini biasanya tidak hanya mengatur kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian.

  15. Jika dilihat dari sifat mengikatnya, perjanjian internasional dapat dibedakan atas treaty contract dan low making treaty. Treaty contract adalah perjanjian yang dimaksudkan untuk melahirkan akibat-akibat hukum yang hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Adapun law making treaty adalah perjanjian yang akibat-akibatnya menjadi dasar ketentuan atau kaidah hukum internasional. Perjanjian internasional dibuat melalui tiga proses berikut : (1) perundingan (negotiation), (2) penandatanganan (signature), dan (3) pengesahan (ratification).

  16. Pada tahap perundingan biasanya pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian mempertimbangkan terlebih dahulu materi-materi apa yang hendak dicantumkan dalam perjanjian. Pada tahap ini pula materi yang akan dicantumkan dalam perjanjian ditinjau dari berbagai segi, baik politik, ekonomi, maupun keamanan. Tahap perundingan akan diakhiri dengan penerimaan naskan (adoption of the text) dan pengesahan bunyi naskah (authentication of tyhe text). Dalam praktek perjanjian internasional, peserta biasanya menetapkan ketentuan mengenai jumlah suara yang harus dipenuhi untuk memutuskan apakah naskah perjanjian diterima atau tidak. Demikian pula menyangkut pengesahan bunyi naskah yang diterima akan dilakukan menurut cara pengesahan, maka pengesahan dapat dilakukan dengan penandatanganan, penandatangan sementara, atau dengan pembubuhan paraf (Kusumaatmadja, 1990: 91).

  17. Dengan menandatangani suatu naskah perjanjian, suatu negara berarti sudah menyetujui untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian. Selain melalui penandatanganan, persetujuan untuk mengikat diri pada perjanjian dapat pula dilakukan ratifikasi, pernyataan turut serta(acesion) atau menerima (acceptance) suatu perjanjian. Sedangkan ratifikasi adalah pengesahan naskah perjanjian internasional yang diberikan oleh badan yang berwenang di suatu negara. Dengan demikian, meskipun delegasi negara yang berangkutan sudah menandatangani naskah perjanjian, namun negara yang diwakilkannya tidak secara otomatis terikat pada perjanjian. Negara tersebut baru terikat pada materi perjanjian setelah naskah perjanjian tersebut diratifikasi.

  18. Badan mana yang berwenang meratifikasi perjanjian internasional menjadi persoalan intern negara yang bersangkutan. Untuk Indonesia misalnya wewenang itu dipegang oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini merujuk pada pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat membuat perjanjian dengan negara lain”.

  19. Kegiatan Belajar 4 Kebiasaan Internasional, Prinsip hukum Umum, dan Revolusi Majelis Umum PBB dalam rangka Perlindungan Hak Asasi Manusia Internasional

  20. Menurut Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional menyatakan bahwa, dalam mengadili perkara yang diajukan kepadanya, Mahkamah Internasional akan mempergunakan : • Perjanjian internasional, baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersengketa. • Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah diterima sebagai hukum • prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab • keputusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negarasebagai sumber tambahan bagi penetapan kaidah hukum • (Kusumaatmadja, 1990 : 82)

  21. Kebiasan Internasional Kebiaasaan internasional adalah kebiasan umum yang diterima sebagai hukum. Dengan demikian tidak semua kebiasaan internasional menjadi sumber hukum. Untuk menjadi sumber hukum, kebiasan internasional harus memenuhi dua unsur berikut : (1) terdapat kebiasaan yang bersifat umum, dan (2) kebiasan itu harus diterima sebagai hukum.

  22. Prinsip Hukum Umum Prinsip hukum umum adalah asas hukum yang mendasari sistem hukum modern. Sistem hukum modern banyak didasarkan atas asas dan lembaga hukum negara Barat yang sangat dipengaruhi oleh asas dan lembaga hukum Romawi.

  23. Keputusan Pengadilan, Pendapat Sarjana, dan Keputusan Organisasi Internasional Keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana sebagai sumber hukum tambahan bersifat tidak mengikat, artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum.

More Related