1 / 1

Gaya Mimbarnya

Gaya Mimbarnya

Download Presentation

Gaya Mimbarnya

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Gaya Mimbarnya Sebagai wartawan saya banyak menanyakan hal-hal keadaan sosial-ekonomi dan politik padanya. Jawabannya hati-hati. Tetapi jelas bahwa ia tidak begitu gembira dengan politik Jepang. Ia melihat cara Jepang militer-fasistis, menentukan secara otoriter segala-galanya menurut kepentingan sendiri. Menurut Bung Hatta, pelaksanaan ekonomi Jepang di Jawa khususnya dan di lain-lain pada umumnya membawa malapetaka dan penderitaan rakyat. Karena itulah maka Bung Hatta bekerja sebagai seorang yang mengawasi Jepang dengan nasihat-nasihatnya yang tajam. Tentulah nasihat itu tidak dapat dipakai Jepang, karena pendirian kedua pihak berbeda. Jepang mau mencoba memeras Indonesia untuk memenangkan perangnya. Bung Hatta mau mencoba melindungi dan menolong rakyat! Keduanya tentu tidak mungkin bertemu. Bagi Bung Hatta, sebagaimana kami mengikutinya di masa Jepang, ia menjalankan suatu politik low profile, politik tidak menonjol. Saya mendengar dari kawan-kawan wartawan dan juru bahasa Jepang bahwa pikiran Bung Hatta diperhatikan sekali. Jepang hormat padanya. Tetapi, sebagai pendekar politik dan pendekar kata-kata, ia tidak ingin melakukan kesempatan bagaimanapun untuk melepaskan pukulan-pukulan pada fasis militerisme Jepang. Jika saya mendengar pidato Bung Hatta dan Bung Karno, kesan saya terhadap mereka berdua saling berlomba melepaskan sepak terjang ke arah yang sama, dengan bijak, tetapi mengena. Kalau Bung Hatta berpidato, ia memakai “bahasa baku”. Bung Karno “bahasa rakyat”. Tetapi, yang mendengar mengetahui, dalam kedataran pidato Bung Hatta seperti gaya Binuang menerjang. Dan bila melihat Bung Karno orang tahu ia sedang mengikuti gerak lompat melontar yang dilaksanakan Banteng Ketaton. Sekali saya hadir di Lapangan Ikada. Waktu itu 3 November 1943. Beberapa kawan pemuda serta dengan saya. Bung Hatta naik mimbar. Maksud pidatonya menganjurkan pembentukan barisan sukarela, atau barisan pembela tanah air, PETA. Putusan pembentukan pasukan ini yang terdiri sepenuhnya dari putra Indonesia asli ditetapkan oleh Undang-undang Militer No. 44. Enak sekali keterangan Bung Hatta. Isinya memberi semangat pada pemuda. Tapi sepaknya ke lambung awan. Kata-katanya: “Nippon melepaskan kita dari penjajahan Belanda. Kita minta terima kasih atas jasa-jasanya itu. Tetapi apakah selama-lamanya Nippon saja yang akan mempertahankan kita, yang akan membela kita, sedangkan kita tidak akan menunjukkan pula kesanggupan kita menjaga keselamatan kita dan kehormatan kita sebagai bangsa? Itu Mustahil.” Walaupun ia datar berbicara, tetapi, ketika ia meneriakkan kalimat terakhir ini rakyat dan pemuda bersorak ramai. Seorang dari Minang yang berdiri di belakang saya bertutur dalam bahasa Minang, “Ah iyo bana si Binuang awak!” (Benar sekali apa kata si Binuang kita). Kemudian Bung Hatta meneruskan: “Pemuda Indonesia jangan lupa, bahwa tak ada bangsa yang terhormat di atas dunia ini, yang menyerahkan penjagaan nasibnya sama sekali kepada bangsa lain.” Artinya dalam kata-kata biasa: Jepang bisa saja “persetan” kapan dia pergi, tetapi bangsa dan tanah air Indonesia harus dilindungi dan dibela sepenuhnya oleh kekuatan sendiri, kekuatan pemudanya! Demikian pula ia menganjurkan pada pemuda di lapangan sama, di bulan September 1944, “Detik darah yang mengalir dalam tubuhmu akan mengingatkan kepadamu kebesaran bangsamu di masa dahulu. Detik darah itu hendaklah juga menjadi peringatan kepadamu setiap waktu, akan kewajibanmu sebagai putra bangsa dalam perjuangan mati-matian di masa datang.” BM Diah, Pribadi Manusia Hatta, Seri 10, Yayasan Hatta, Juli 2002

More Related