1 / 183

Buku_Pneumonia_by_Dr_Reviono

https://www.slideserve.com/agatha/sistem-imunitas

Akbar32
Download Presentation

Buku_Pneumonia_by_Dr_Reviono

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. PNEUMONIA: PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? antiinflamasi ?

  2. Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 Perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta (1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). (2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

  3. Reviono PNEUMONIA: PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? antiinflamasi ? UNS PRESS

  4. PNEUMONIA: PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? antiinflamasi ? Hak CiptaReviono. 2017 Penulis Dr. dr. Reviono, Sp.P (K) Editor Dr. dr. Harsini, Sp. P (K) Ilustrasi Sampul Arif Hasanudin Penerbit dan Percetakan Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press) Jalan Ir. Sutami 36 A, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 Telepon (0271) 646994 Psw. 341 Fax. (0271) 7890628 Website : www.unspress.uns.ac.id Email : unspress@uns.ac.id Cetakan 1, Edisi 1, November 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang All Rights Reserved ISBN 978-602-397–172-5

  5. KATA PENGANTAR Sudah sekian lama diketahui, bahwa pneumonia merupakan penyebab kematian utama. Penelitian tentang pneumonia ini sudah berlangsung lama dan mulai intensif dilakukan pada akhir tahun 1800-an. Banyak sudut pandang pemahaman mikrobiologi modern yang berubah. Pneumonia sebagian besar disebabkan oleh bakteri, meskipun penelitian tentang antibiotik terus berkembang tetapi pneumonia tetap menjadi penyebab utama komplikasi penyakit dan juga kematian. Berdasarkan asal dari sumber mikroba penyebab pneumonia, pneumonia komunitas merupakan kasus terbanyak. Selain itu terdapat pneumonia nosocomial, pneumonia aspirasi dan juga health care associated pneumonia. Beberapa faktor resiko yang berpeluang berhubungan dengan pneumonia adalah usia yang sangat tua atau sebaliknya sangat muda, gaya hidup seperti peminum alcohol dan perokok. Selain itu individu yang menderita sakit seperti kardiorespirasi kronik, gangguan sinyal kronik, penyakit hepatic, diabetes mellitus, penyakit kanker serta HIV-AIDS. Terapi utama pneumonia bakterial adalah antibiotik, dimana pemberian antibiotik awal disebut dengan terapi empirik. Terapi empirik ini berdasarkan panduan tata laksana yang relevan, usia pasien, penyakit penyerta dan beratnya penyakit pneumonia. Pertimbangan pemilihan dengan cara apa antibiotik tersebut akan diberikan, apakah - v -

  6. secara oral atau parenteral juga menjadi pertimbangan. Hal ini akan dihubungkan dengan keputusan pasien tersebut akan rawat inap atau rawat jalan. Penemuan antibiotik terus berkembang, akan tetapi sampai saat ini kasus pneumonia masih menimbulkan angka kematian yang tinggi, terutama di ICU yang mendekati 35%. Salah satu penyebab tingginya angka kematian tersebut adaah akibat respons inflamasi yang cukup tinggi. Akibat repons inflamasi yang berlebihan, meskipun terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap berbahaya. Respons inflamasi yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan paru, sehingga perlu dikurangi. Terapi antiinflamasi yang ideal adalah yang mampu mengurangi komplikasi respons inflamasi sistemik yang terlalu besar tanpa mengganggu proses resolusi inflamasi lokal. Selama terjadinya proses inflamasi, berbagai jenis sel-sel inflamasi diaktifkan. Proses inflamasi tersebut mengeluarkan sitokin dan mediator untuk mengatur sel-sel inflamasi. Sebenarnya ada beberapa golongan antiinflamasi yang digunakan dalam terapi pernyakit yang berhubungan dengan proses inflamasi.=, tetapi dalam buku ini tidak disampaikan semuanya. Terdapat 3 kategori anti inflamasi yang menarik perhatian yaitu kortikosteroid, statin dan makrolid. Pada makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik klinis. - vi -

  7. Antiinflamasi yang pertama adalah kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan inhibitor yang sangat kuat untuk inflamasi. Kortikosteroid mematikan gen yang mengkodekan sitokin proinflamasi dan mengaktifkan gen yang mengkode sitokin antiinflamasi. Obat yang dipilih pada penelitian ini adalah deksametason. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednisone. Deksametason memiliki efek antiinflamasi yang ampuh dan efek mineralokortikoid lemah dibandingkan dengan kortikosteroid lain, sehingga mencegah gangguan reabsorpsi natrium dan keseimbangan air. Efek deksametason yang tahan lama, memungkinkan pemberian rejimen hanya sekali sehari Deksametason bekerja sebagai anti-mitosis pada sel system imun tubuh melalui perubahan tingkat ekspresi gen. Deksametason menghambat sel inflamasi di saluran pernapasan, termasuk eosinofil, limfosit T, sel mast, sel dendritik, serta dapat menginduksi ekspresi dual specificity phosphatase (DUSP)1 atau lebih dikenal sebagai mitogen activated protein kinase (MAPK) phosphatase 1 yang akan mendefosforilasi dan menginaktivasi MAPKs. Kortikosteroid dosis rendah dapat menekan gen inflamasi. Gen inflamasi diaktifkan oleh rangsangan inflamasi, seperti IL-1β atau TNF-α, yang mengakibatkan aktivasi inhibitorI-kB kinase (IKK)-2, dan mengaktifkan factor transkripsi NF-kB. - vii -

  8. Pada penelitian ini yaitu dalam pemberian deksametason akan diukur respons inflamasi dengan menggunakan penanda inflamasi dan penanda infkesi yaitu pro-calcitonin (PCT) dan tumor necrosis factor (TNF-α). Selain menilai secara imunologi juga akan dinilai perbaikan klinis, yaitu dinilai dengan batas waktu 5 hari rawat inap. Antiinflamasi kedua yang akan diteliti yaitu pravastatin dari golongan statin. Statin memiliki efek yang disebut dengan efek pleotropik, antara lain antiinflamasi. Farmakokinetik pravastatin tidak dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin dan usia Efek terapi pravastatin dipengaruhi oleh dosis dan interaksi dengan obat lain yang menghambat metabolisme statin.79Dosis pravastatin adalah 40 mg/ hari dan sebaiknya diberikan saat perut kosong karena makanan dapat menurunkan absorbsi pravastatin. Penurunan kadar penanda biologi seperti C-reactive protein (CRP) selama pemberian statin menjadi perhatian besar, karena hal tersebut menunjukkan kemungkinan bahwa statin memiliki efek antiinflamasi melalui penghambatan terhadap aktivitas NF-kB. Kemampuan statin dalam menghambat inflamasi saluran napas dan parenkim paru ditandai dengan penurunan kadar sitokin proinflamasi IL-6, TNF-α, dan IL-8 sebagai sitokin utama pada influks netrofil yang menjadi penyebab utama inflamasi paru. Pada penelitian pemberian pravastatin sebagai antiinflamasi pada kasus pneumonia akan dilihat pengaruhnya dengan mengukur penanda inflamasi dan infeksi yaitu PCT dan IL-6. Sedang respons klinis juga - viii -

  9. diteliti yaitu dengan mengukur perbaikan klinis setelah pemberian antiinflamasi selama 5 hari. Antiinflamasi ketiga adalah azitromisin dari golongan makrolid. Sebenarnya makrolid awalnya dikenal sebagai antibiotika yang bersifat bakteriostatik untuk Staphylococci, Streptococci, dan Haemophylus, dan dapat bersifat bakterisid pada dosis tinggi. Saat ini makrolid diketahui dapat meningkatkan bersihan mukosilier, meningkatkan atau mengurangi aktivasi sistem imun, mencegah pembentukan biofilm bakteri, mempengaruhi aktivitas fagosit dan menurunkan respons inflamasi. Obat yang digunakan dari golongan makrolid ini adalah azitromisin. Azitromisin memiliki efek antimikroba langsung dan dapat memodulasi respons imun. Penelitian invitro dan hewan menghasilkan data yang mendukung efek penghambatan terhadap neutrofil dan aktivitas kemotaktik. Pemberian azitromisin jangka panjang telah terbukti menurunkan kadar IL-8 dan jumlah neutrofil dalam cairan bilasan bronkus. Pada penelitian akan diberikan pada penderita pneumonia, dan pemberiannya hanya jangka pendek. Variabel yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian azitromisin adalah penanda inflamasi dan infeksi yaitu IL-8 dan netrofil sputum. Selain menilai secara imunologis juga dilihat respons klinis, yaitu dengan mengukur perbaikan klinis setelah pemberian azitromisin. Penelitian ini kami lakukan dengan sampel dari pasien pneumonia RSUD Dr Moewardi. Kami ucapkan banyak terimakasih kepada dr Bobby Singh, SpP, dr Jan Yanto - ix -

  10. Lydwines Purba, SpP dan dr Leonardo Helasti Simanjutak, SpP yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian payung, mulai menentukan proses registrasi sampel, pemeriksaan variable penelitian, dan penulisan laporan hingga terbitnya buku ini. Semoga buku ini akan membawa manfaat bagi dokter yang melakukan pelayanan kasus pneumonia, dapat memberikan pertimbangan dalam upaya layanan kepada masyarakat yang lebih baik. Kami mohon kritik dan saran demi perbaikan penulisan selanjutnya. Dr. dr. Reviono, SpP(K) - x -

  11. Daftar Isi Kata Pengantar ................................................................................ daftar Isi ........................................................................................... Daftar Tabel ..................................................................................... Daftar Gambar ................................................................................. BAB I PENDAHULUAN ........................................................ BAB II PATOGENESIS PNEUMONIA ................................ A.Pertahanan Paru ..................................................... B.Respons Sistem Imun .............................................. BAB III TERAPI PNEUMONIA ............................................... A.Terapi Antibiotik .................................................... B.Terapi Suportif ....................................................... C.Terapi Antiinflamasi .............................................. BAB IV TERAPI ANTIINFLAMASI ....................................... A.Kortikosteroid ......................................................... 1.Mekanisme kerja glukokortikoid ................... 2.Efek Antiinflamasi Deksametason pada Pneumonia ........................................................ B.Statin ......................................................................... 1. Mekanisme Kerja Statin ................................ 2.Pravastatin sebagai Antiinflamasi pada Pneumonia ...................................................... C.Makrolid .................................................................. 1.Mekanisme Kerja Makrolid ........................... 2.Efek Antiinflamasi Makrolid ......................... 3.Azitromisin sebagai Antiinflamasi pada Pneumonia ....................................................... v xi xiv xvi 1 9 10 13 19 20 21 22 25 26 30 33 36 37 43 45 50 54 56 - xi -

  12. BAB V EVALUASI TERAPI PNEUMONIA......................... A.Respons Klinis ....................................................... B.Penanda Biologi pada Pneumonia ..................... 1.Procalcitonin (PCT) .......................................... 2.Tumor necrosis factor (TNF)-α ........................ 3.Interleukin-6 (IL-6) ........................................... 4.Interleukin-8 (IL-8) ........................................... 5.Neutrofil sputum.............................................. 59 60 63 65 68 69 71 73 BAB VI PENELITIAN SENDIRI .............................................. A.Metode Penelitian ................................................... 1.Definisi operasional variabel penelitian ....... 2.Teknik Pemeriksaan ........................................ 3.Prosedur pengumpulan data ......................... 4.Analisis data ..................................................... B.Kerangka Konsep Penelitian ................................. C.Hasil Penelitian ....................................................... 1.Karakteristik dasar subyek penelitian .......... 2.Pengaruh terhadap kadar PCT danTNF- ..................... 101 3.Pengaruh pemberian pravastatin terhadap kadar PCT dan IL-6 ......................................... 109 D.Pengaruh pemberian azitromisin terhadap kadar IL-8 dan neutrofil sputum .......................... 113 E.Pemberian deksametason, pravastatin dan azitromisin terhadap pencapaian perbaikan klinis ......................................................................... 118 BAB VII PEMBAHASAN............................................................ 123 A.Pemberian deksametason pada pneumonia ....... 125 B.Pemberian Pravastatin pada pneumonia ........... 129 C.Pemberian azitromisin pada pneumonia ............ 133 D.Perbaikan Klinis ...................................................... 137 77 78 80 84 88 89 91 95 95 pemberian deksametason - xii -

  13. BAB VIII PENUTUP ...................................................................... 141 A.Kesimpulan ............................................................ 143 B.Saran ........................................................................ 144 Daftar Pustaka ................................................................................. 146 Daftar Singkatan.............................................................................. 160 Biodata .............................................................................................. 165 - xiii -

  14. Daftar Tabel Tabel 4.1. Tabel 6.1. Tabel 6.2. Tabel 6.3. Tabel 6.4. Pembagian golongan makrolid ................. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... Karateristik subyek penelitian ................. Karakteristik dasar subyek penelitian ..... 100 Perbandingan kadar PCT dan TNF- sebelum (pre) perawatan kelompok deksametason dan kelompok kontrol ..................................................... 103 Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum pada Deksametason ......................................... 104 Perubahan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum pada kelompok kontrol ....... 106 Perbandingan kadar PCT serum dan kadar TNF- serum sesudah perawatan antara kelompok deksametason dan kelompok kontrol ..................................... 108 Perbandingan kadar PCT dan IL-6 sebelum (pre) perawatan kelompok Pravastatin dan kelompok kontrol ..................................................... 110 Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6 serum pada kelompok Pravastatin .... 111 Perubahan kadar PCT serum dan kadar IL-6 serum pada kelompok kontrol .......... 112 Perbandingan kadar PCT serum dan IL-6 sesudah perawatan kelompok pravastatin dan kelompok kontrol ..................................................... 113 Perbandingan kadar IL-8 dan Neutrofil sputum sebelum (pre) perawatan antara kelompok azitromisin dan kelompok kontrol ..................................................... 114 47 97 98 antara Tabel 6.5. kelompok Tabel 6.6. Tabel 6.7. Tabel 6.8. antara Tabel 6.9. Tabel 6.10. Tabel 6.11. antara Tabel 6.12. - xiv -

  15. Tabel 6.13. Perubahan kadar IL-8 serum dan neutrofil sputum azitromisin............................................... 116 Perubahan kadar IL-8 serum dan neutrofil sputum pada kelompok kontrol . 117 Perbandingan kadar IL-8 serum dan neutrofil sputum sesudah perawatan antara kelompok azitromisin kelompok kontrol ..................................... 118 Perbandingan pencapaian klinis antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ..................................... 119 Perbedaan lama pencapaian perbaikan klinis antara kelompok pravastatin dan kontrol. .................................................... 120 Perbandingan pencapaian klinis antara kelompok azitromisin dan kelompok kontrol ..................................... 121 pada kelompok Tabel 6.14. Tabel 6.15. dan Tabel 6.16. perbaikan Tabel 6.17. Tabel 6.18. perbaikan - xv -

  16. Daftar Gambar Gambar 2.1. Mekanisme daya tahan paru pada pneumonia ............................................ Gambar 2.2. Skema yang menggambarkan suatu kaskade bakteri ..................................... Gambar 4.1. Mekanisme Sitoplasma ............................................. Gambar 4.2. Struktur kimia statin ............................. Gambar 4.3. Skema mekanisme efek seluler statin .... Gambar 4.4. Perkembangan penemuan antibiotika. ... Gambar 4.5 Mekanisme kerja makrolid ..................... Gambar 4.6. Mekanisme kerja antibiotika. ................. Gambar 4.7. Mekanisme imunomodulator. ................................... Gambar 4.8. Penghambatan jalur transduksi sinyal intraseluler oleh azitromisin .................. Gambar 5.1. Respons klinis pneumonia. ........................................... Gambar 6.1. Kerangka teori terjadinya pneumonia ..... Gambar 6.2. Kerangka Antiinflamasi ......................................... 11 17 kortikosteroid pada 32 36 42 46 49 51 antiinflamasi dan 53 58 selama perawatan 62 93 Konsep pemberian 94 - xvi -

  17. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? BAB I PENDAHULUAN Pneumonia, yaitu radang parenkim paru yang disebabkan infeksi mikroba. Untuk kuman penyebab yang didapat dari masyarakat disebut dengan pneumonia komunitas (PDPI, 2014), merupakan salah satu penyakit infeksi yang paling serius. Hal ini terutama bila dikaitkan dengan jumlah kasus rawat inap, yang diikuti dengan peningkatan jumlah kasus, peningkatan komplikasi yang serius dan juga sebagai penyebab utama kematian diantara kasus infeksi lainnya (Steel HC, et al, 2013). 1

  18. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? Tatalaksana kasus pneumonia adalah diagnosis dini dan segera memulai dengan pemberian antibiotik yang tepat (Meijvis SCA, et al, 2011). Peningkatan kasus pneumonia terutama pada usia lanjut dengan angka kematian pneumonia secara umum sekitar 10%. Angka ini relatif tidak berubah sejak ditemukan antibiotik dan penggunaannya secara luas pada tahun 1950an. (Chalmers JD, et al, 2010). Upaya tindakan preventif seperti vaksinasi dan pengembangan antibiotik yang terus berlanjut, ternyata angka kesakitan dan kematian pneumonia tetap tinggi (Meijvis SCA, et al, 2011). Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yaitu kasus pneumonia komunitas yang memerlukan rawat inap di rumah sakit 20-40%, diantara angka tersebut 5-10% memerlukan perawatan intensif. Angka prevalensi pneumonia yang membutuhkan rawat inap di Indonesia berada dalam 10 besar seluruh kasus rawat inap. Angka kematian kasus atau crude fatality rate (CFR) pneumonia tertinggi yaitu 7,6% (PDPI, 2014). Penyebab kematian pneumonia memang multifaktorial diantaranya adalah inflamasi berlebihan baik inflamasi sistemik maupun inflamasi lokal terbatas pada organ paru. Selain itu adalah acute lung injury, disfungsi endotel pada vaskuler dan koagulopati (Chalmers JD, et al, 2010). Walaupun sebenarnya rangkaian kejadian dari proses tersebut saling berkaitan dengan diawali oleh suatu proses inflamasi yang dapat mengganggu fungsi endotel, berlanjut acute lung injury dan gangguan koagulopati. 2

  19. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? Proses inflamasi terjadi saat bakteri masuk ke dalam tubuh, respons inflamasi merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dalam usaha melawan invasi bakteri sehingga dapat dieliminasi. Proses inflamasi akan berhenti apabila bakteri tersebut dapat dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, apabila bakteri tidak dapat dieliminasi akan terus berkembang dan menyebabkan kerusakan jaringan (Baratawidjaja KG, et al, 2012; Bordon J, et al, 2012). Meskipun respons inflamasi yang memadai diperlukan untuk membersihkan bakteri, tetapi inflamasi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan lokal ataupun sistemik yang terjadi terus menerus (Meijvis SCA, et al, 2012) Bakteri yang masuk ke dalam tubuh sebenarnya akan lewat begitu saja kalau tidak ada reseptor yang mengenalinya. Akan tetapi bakteri patogen akan mengeluarkan suatu produk yaitu pathogen associated molecular pattern (PAMP) yang akan dikenal oleh pattern recognition receptors (PRRS) misalnya toll like receptor (TLR). Toll like receptor terletak di permukaan makrofag alveolar, yang selanjutnya akan mengaktifkan NFκβ sehingga terjadi pelepasan sitokin pro inflamasi, misalnya tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin IL-6, IL-8, IL-1β dan IFN-α. (Martinez, et al, 2011; Moldoveanu, et al, 2009). Sitokin pro inflamasi ini akan meningkat saat terjadi infeksi mikroba. Sitokin ini juga akan merangsang pelepasan procalcitonin (PCT) (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009) dan menginduksi ekstravasasi neutrofil ke jaringan (Medzhitov 3

  20. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? R, 2010). Untuk menilai derajat pneumonia dapat dilakukan dengan mengukur sitokin pro inflamasi tersebut maupun substansi lainnya seperti PCT dan sel inflamasi seperti neutrofil jaringan misalnya dalam jaringan bronkus. Sudah terdapat beberapa penelitian yang menggunakan IL- 6 PCT (Maruna P, et al, 2000), TNF-α (Martinez, et al, 2011, Moldoveanu, et al, 2009), neutrofil jaringan (Medzhitov R, 2010). Sampai saat ini terapi pneumonia hanya mengandal- kan antibiotik, selain itu belum ada lagi. Oleh karena itu perlu terapi tambahan agar dapat mengurangi beratnya penyakit (Meijvis SCA, et al, 2011; Chalmers JD, et al, 2010). Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa beratnya penyakit pneumonia adalah akibat inflamasi yang berlebihan, oleh karena itu perlu suatu terobosan dan pemberian suatu anti inflamasi untuk mencegah terjadinya kerusakan jaringan yang lebih lanjut. Pemberian anti inflamasi pada kasus pneumonia merupakan suatu upaya untuk dapat menurunkan angka kematian pneumonia. Terdapat beberapa pilihan anti inflamasi yaitu golongan kortikosteroid, makrolid dan saat ini yang menarik adalah golongan statin (Steel HC, et al, 2013, Meijvis CSA et al, 2012). Selain masih terdapat antiinflamasi lain yaitu cyclic adenosin monophosphate (c- AMP) dan non steroidal antiinflamatory agents (NSAIDS) (Steel HC, et al, 2013). Terapi inflamasi pada kasus pneumonia dengan kortikosteroid sudah beberapa kali dilakukan dengan hasil 4

  21. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? yang berbeda-beda. Pemberian kortikosteroid dosis rendah dapat menghambat transkripsi sitokin proinflamasi sehingga akan mencegah perpanjangan respons inflamasi dan mempercepat resolusi sistemik dari inflamasi paru pada pneumonia (Meijvis SCA, et al, 2011). Salah satu steroid yang cukup kuat adalah deksametason. Deksametason memiliki sifat antiinflamasi yang kuat tetapi dengan efek mineralokortikoid yang lemah dibandingkan dengan kortikosteroid yang lain. Efek mineralokortikoid yang lemah akan menguntungkan karena mencegah gangguan reabsorbsi natrium dan keseimbangan air. Efek yang menguntungkan lainnya adalah bersifat long acting sehingga memungkinkan pemberiannya hanya sekali. (Goldfian, et al, 2005; Meijvis SCA, et al, 2011). Beberapa hasil penelitian yang menunjukan keunggulan deksametason adalah penelitian Meijvis SCA et al yang terbukti mengurangi waktu rawat inap. (Meijvis SCA, et al, 2011), penelitian Hilde et al, membuktikan deksametason mampu menekan respons sitokin pro inflamasi pada pneumonia komunitas. (Hilde, et al, 2012), serta Abraham et al, mampu membuktikan bahwa deksametason mampu menekan gen pro inflamasi antara lain gen TNF, siklooksigenase 2, IL-1α dan hasil IL-1β (Abraham, et al, 2006). Selain itu juga terdapat penelitian dengan hasil sebaliknya yaitu penelitian Davies dan Groenewegen yang menyatakan pemberian kortiko steroid jangka pajang dapat memberikan efek buruk bagi pasien dan meningkatkan 5

  22. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? mortalitas (Davies L, et al, 1995; Groenewegen KH, et al, 2003). Statin akhir-akhir ini juga mulai diteliti untuk digunakan sebagai antiinflamasi. Statin yang selama ini dikenal sebagai substansi yang mampu menurunkan kolesterol dan mempunyai efek protektif terhadap penyakit jantung diperkirakan mempunyai efek inflamasi dengan cara menghambat aksirasi protein Rho dan Rac yang selanjutnya menekan aktivasi NFκβ sehingga produksi sitokin pro inflamasi berkurang. Proses ini akan berlanjut dengan perbaikan endothelial dysfunction, serta inflamasi sistemik yang berlebihan (Chalmers JD et al, 2010). Penelitian Makris et al 2011 melaporkan bahwa pravastatin yang merupakan golongan statin mampu menurunkan pneumonia akibat penggunaan ventilator serta mampu menurunkan angka kematian pasien yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) (Makris et al, 2011). Makrolid yang selama ini dikenal sebagai antibiotik juga diduga mempunyai efek antiinflamasi. Efek antiinflamasi diduga berasal dari penekanan pada NFκβ sehingga akan menurunkan pelepasan sitokin pro inflamasi yaitu IL-6, IL-8 dan TNF-α, bahkan seandainya mikroorganisme penyebab infeksi tersebut resisten terhadap makrolid (Meijvis SCA, et al, 2012). Beberapa penelitian telah melaporkan tentang hasil yang baik dalam pemberian azitromisin pada kasus pneumonia. Dosis azitromisin bervariasi ada dengan dosis 500 mg (Yanagihara 6

  23. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? K, et al, 2009) dan dosis rendah 250 mg terbukti mampu menurunkan neutrofil dan IL-8. (Verleden GM, et al, 2006). Berdasarkan uraian diatas, penelitian tentang penambahan antiinflamasi pada terapi pneumonia perlu terus dilakukan. Dalam beberapa tahun belakangan ini para klinisi masih enggan untuk memberikan antiinflamasi pada kasus pneumonia karena efek immunosupressive (Meijvis SCA, et al, 2012). Selain itu masih ada beberapa hasil penelitian yang berbeda misalnya pada pemberian deksametason, juga pemberian dosis obat yang bervariasi misalnya pada pemberian azitromisin. Penelitian yang akan dilakukan adalah untuk meneliti efek deksametason, pravastatin dan azitromisin sebagai antiinflamasi pada pasien pneumonia komunitas. 7

  24. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 8

  25. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? BAB II PATOGENESIS PNEUMONIA Pneumonia terjadi akibat invasi dan pertumbuhan berlebihan dari mikroorganisme dalam melawan pertahanan paru yang berakibat peradangan parenkim paru. Inflamasi merupakan respons pertahanan host akibat rusaknya jaringan paru oleh karena infeksi mikroorganisme. Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme untuk bertahan terhadap mikroorganisme patogen (Moldoveanu, et al, 2009). 9

  26. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? A.Pertahanan Paru Infeksi saluran napas bawah tergantung dari virulensi dan kolonisasi dari mikroorganisme yang dapat melampaui mekanisme pertahanan paru. Mekanisme pertahanan paru terdiri dari: (Mason CM, et al, 2005; Goetz MB, et al, 2005)) 1.Saluran napas atas yaitu hidung berfungsi sebagai penyaring partikel dibuang melalui bersin dan faring berfungsi mengeluarkan partikel atau mikroorganis- me melalui batuk atau tertelan. 2.Imun alamiah melalui sekresi sel epitel di saluran napas bawah seperti lisosom (enzim sel epitel berfungsi memecah dinding sel bakteri terutama pada bakteri gram positif), laktoferin (protein yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri), defensin (protein yang diproduksi oleh bermacam-macam sel epitel berfungsi merusak struktur bakteri dengan meningkatkan permeabilitas membran), leukoprotease inhibitor (protein yang berfungsi menghambat neutrofil elastase dan menghambat aktivitas bakteri), dan cathelicidin (peptida neutrofil berfungsi menghambat aktivitas bakteri gram negatif). Sistem imun alamiah lainnya seperti makrofag dan neutrofil yang berasal dari pembuluh darah kapiler masuk ke dalam alveoli melalui reaksi inflamasi makrofag. 3.Sistem pertahanan imun didapat yang berada di saluran napas adalah immunoglobulin (Ig) terutama 10

  27. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? IgA dan IgG. Sekresi IgA berada di saluran napas atas sedangkan IgG serum antibodi di saluran napas bawah. Fungsi dari IgA dan IgG sebagai opsonin yaitu mengikat mikroorganisme pada reseptor fagosit sehingga memudahkan fagositosis jika makrofag dan neutrofil tidak dapat melawan mikroorganisme. Mekanisme pertahanan paru pada pneumonia terlihat pada gambar 2.1. (Maitra A, et al, 2007). Gambar 2.1. Mekanisme daya tahan paru pada pneumonia Dikutip dari (Maitra A, et al,2007) Pneumonia terjadi akibat invasi dan pertumbuhan berlebihan dari mikroorganisme pertahanan paru berakibat peradangan parenkim paru. Mekanisme agar mikroorganisme dapat mencapai permukaan saluran napas, dapat dicapai dengan dalam melawan 11

  28. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? berbagai cara antara lain dengan inhalasi bahan aerosol, penyebaran melalui pembuluh darah dan kolonisasi pada permukaan mukosa. pembentukan kolonisasi ini merupakan cara yang terbanyak (Moldoveanu B, et al, 2009; PDPI 2014) Proses ini selanjutnya akan terjadi aspirasi dari kolonisasi daerah nasal, orofaring, dan lambung (Alcon A, et al, 2005: Mason CM, et al, 2005). Mekanisme aspirasi orofaring pada individu yang sehat terjadi saat tidur namun host mampu melawan infeksi paru, sedangkan mekanisme aspirasi orofaring pada individu yang sakit terjadi melalui pemberian sedatif, intubasi, dan terapi antibiotik dapat merubah flora normal dan merusak fungsi mekanik saluran napas atas. Aspirasi lambung terjadi bila fungsi mekanik spingteresofagus mengalami gangguan (Alcon A, et al, 2005: Mason CM, et al, 2005). Mekanisme kolonisasi fibronektin dari komponen saliva tidak berfungsi, berdampak pada penurunan peningkatan jumlah mikroorganisme patogen di saluran napas. Mekanisme kolonisasi lambung terjadi bila pH lambung meningkat akibat pemberian obat penghambat asam lambung sehinggga pertumbuhan mikroorganisme (Alcon A, et al, 2005: Mason CM, et al, 2005). Mekanisme dengan orofaring terjadi bila flora normal dan dapat meningkatkan 12

  29. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? B.Respons Sistem Imun Inflamasi merupakan respons pertahanan paru host akibat rusaknya jaringan paru oleh karena infeksi mikroorganisme. Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme untuk mikroorganisme patogen. sebenarnya dapat terjadi tidak hanya pada kasus infeksi, tetapi juga pada hipersensitivitas. Dalam proses inflamasi ini akan melibatkan berbagai jenis sel-sel inflamasi untuk diaktifkan dan selanjutnya akan disekresi sitokin dan mediator untuk mengatur sel-sel inflamasi tersebut. (Moldoveanu, et al, 2009). Inflamasi yang terjadi akibat respons imun host terdiri dari 2 cara pengenalan dan pemusnahan mikroorganisme melalui sistem imun bawaan yaitu fagositosis dan sistem imun adaptif. Proses pengenalan mikroorganisme melalui sistem imun alamiah dengan mengenal struktur mikroorganisme. mikroorganisme tersusun oleh molekul spesifik yaitu pathogen-associated molecular patterns (PAMP). Struktur tersebut seperti lipoprotein, lipopolysaccharides (LPS) pada gram negatif, peptidoglycans pada gram positif, dan viral envelope glycoproteins. Pengenalan PAMP melalui pattern-recognation receptor (PRR) diekspresikan oleh sistem imun alamiah yaitu monosit, makrofag, dan polimorfonuklear (PMN) dan terdiri dari beberapa famili seperti toll like receptor (TLR), cluster of differentiation (CD) 14, formyl peptide receptor dan reseptor kom- plemen. Ikatan melalui reseptor ini dapat meningkatkan bertahan terhadap Respons inflamasi ini kasus trauma dan Struktur 13

  30. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? proses fagositosis sehingga mikroorganisme lebih mudah dimusnahkan. (Moldoveanu, et al, 2009: Baratawidjaja GK, et al, 2009). Monosit adalah sistem imun alamiah dalam proses fagositosis. Monosit yang berada di pembuluh darah bersifat tidak aktif, menjadi aktif bila migrasi ke jaringan. Aktifasi monosit (mCD)14 berikatan dengan lipopolysaccharides (LPS) bakteri yang dimediasi oleh tolls like receptor (Maitra A, et al, 2007; Moldoveanu, et al, 2009: Baratawidjaja GK, et al, 2009). Toll like receptor setelah mengenai PAMP akan mengakifkan faktor transkripsi NF-κβ dan berbagai jenis sel inflamasi. Berbagai sel inflamasi tersebut yang telah teraktivasi akan memproduksi molekul adhesi, growth factor, kemokin dan sitokin pro inflamasi diantaranya IL-6, IL-8, TNF-α yang diperlukan untuk respons inflamasi TNF-α akan meningkatkan adhesi molekul sel endotel kapiler paru dan IL-8 berfungsi sebagai kemoaktratan sehingga berpindah ke tempat inflamasi (Abbas AK et al, 2013; Martinez R, et al, 2011). Setidaknya ada 10 jenis TLR yang dapat mengenali bakteri pada permukaan sel atau endosome. Toll-like receptor-4 mengenali endotoksin lipopolisakarida (LPS) dari sedangkan TLR-2 mengenali bakteri gram positif dan peptidoglikan. Ikatan LPS dengan TLR-4 pada makrofag alveolar akan mengaktivasi protein adaptor untuk menginisiasi sinyal transduksi ke nukleus melalui aktivasi NF-қβ yang menyebabkan terjadinya pelepasan melalui membran CD untuk neutrofil dan gram protein negatif, bakteri 14

  31. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? sitokin proinflamasi antara lain TNF-α, IL-6, dan IL-1β (Abbas AK, et al, 2013; Martinez R, et al, 2011; Moldoveanu B,et al, 2009). Tolls like receptor (TLR)4 merangsang produksi faktor transkripsi seperti nuclear factor κβ (NFκβ), dengan mengaktifkan gen protein berupa sitokin, enzim, atau bentuk protein lainnya dalam memudahkan proses fagositosis (Maitra A, et al, 2007; Moldoveanu B,, et al, 2009: Baratawidjaja GK, et al, 2009). Produk dari sel host yang rusak dan mati dikenali oleh imunitas bawaan untuk memulai proses perbaikan jaringan. Respons imunitas bawaan dapat merangsang respons imunitas adaptif agar efektif melawan berbagai jenis mikroba. (Abbas AK, et al, 2012). Antigen bakteri gram negatif dikenali makrofag melalui TLR-4. Ikatan LPS dengan TLR-4 pada makrofag alveolar mengaktivasi protein menginisiasi sinyal transduksi ke nukleus melalui aktivasi NF-κβ sehingga terjasi pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF-α, IL-6 dan IL-1β). Selain NF-κβ, terdapat faktor transkripsi lain yaitu peroxisome proliferator activated receptor (PPAR)-γ yang berfungsi mengatur ekspresi gen inflamasi dan berperan serta dalam proses aktivasi NF-κB. Antigen bakteri gram positif dikenal sebagai eksotoksin. Eksotoksin berperan sebagai superantigen dikenali oleh makrofag dan sel dendrit sebagai antigen presenting cell (APC) melalui TLR-2. Antigen bakteri gram positif ini membawa muatan polipeptida spesifik dari major histocompatibility complex (MHC) II akan berikatan dengan CD4+ melalui T adaptor untuk 15

  32. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? cell receptor (TCR) atau reseptor limfosit T setelah dipresentasikan oleh APC. Antigen precenting cell kemudian memproduksi IL-12 yang akan mengkativasi sel Th0 berproliferasi menjadi Th1 dan IL-4 yang akan mengaktivasi Th0 berproliferasi menjadi Th2. Sel Th1 teraktivasi menghasilkan sitokin IFN-γ yang akan merangsang makrofag mengeluarkan sitokin IL-1β, TNF- α, IL-6 dan IL-8, sedangkan Th2 akan menghasilkan IL- 4, IL-5, IL-6 dan IL-10. Sitokin proinflamasi antara lain TNF-α, IL-6, IL-1β dan IL-8 yang diproduksi oleh epitel saluran napas, endotel dan otot polos vaskuler mengakibatkan pelepasan PCT (Martinez R, et al, 2011). Makrofag aktif melalui sekresi sitokin IL-1β, IL-6, IL-2, TNF-α dan IL-8. Fungsi makrofag dalam proses fagositosis sama seperti sel dendritik yaitu sebagai antigen presenting melalui compleks (MHC) kelas II dalam mengaktifasi CD4+T (Moldoveanu B, et al, 2009: Baratawidjaja GK, et al, 2009). Polimorfonuklear (PMN) adalah sel darah putih yang tidak terdapat pada jaringan sehat namun bila terjadi peradangan neutrofil aktif melalui produksi sitokin. Neutrofil memiliki permukaan reseptor formyl peptide yang diperoleh dari metabolisme spesifik bakteri dan komplemen (C)5a. Pengikatan neutrofil pada bakteri terjadi melalui reseptor CD11b/CD18 dan reseptor komplemen (CR)3 untuk mengikat protein bakteri. Limfosit merupakan bagian sistem imun adaptif yang menggunakan antigen reseptor sel T dan B untuk mengenali target antigen Moldoveanu B, et al, 2009: major histocompability 16

  33. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? Baratawidjaja GK, et al, 2009). Neutrofil merupakan komponen utama respons imun terhadap infeksi bakteri (Nicod LP, et al, 2015). Jumlah neutrofil dalam darah perifer biasanya konstan, namun akan meningkat produksinya dari sumsum tulang. Selanjutnya melalui faktor transkripsi NFκβ mekanisme anti bakteri neutrofil akan diaktifkan seperti peningkatan adhesi dan interaksi sel-sel lain yang berhubungan dengan inflamasi tampak apada gambar di bawah ini (Craig A, et al, 2009). memproduksi kemokin, Gambar 2.2. Skema yang menggambarkan suatu kaskade bakteri yang menginduksi penarikan neutrofil dan terjadinya kerusakan paru dan saluran napas. (1) bakteri berinteraksi dengan sel di alveoli (2). bakteri menginduksi sekresi sitokin dan neutrofil kemoaktratan. (3). sitokin meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada kapiler endotel (4). terjadinya migrasi neutrofil ke ruang alveoli. (5). neutrofil yang bermigrasi ke alveoli akan memproduksi protease, rective oxygen species dan reactive nitrogen species. (6). proses berikutnya dapat terjadi kematian baik pada sel yang terinfeksi maupun pada neutrofil Dikutip dari (Craig A, 2009) Neutrofil mengalir atas pengaruh ikatan antara selektin dan endotel dengan musin pada permukaan 17

  34. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? neutrofil. Kemokin (IL-8) di produksi oleh makrofag setelah terpajang bakteri patogen, peningkatan kemokin akan menyebabkan peningkatan afinitas integrin. Integrin adalah molekul adhesi yang terdiri dari rantai α dan β. Rantai β (CD18) diekspresikan oleh neutrofil dan berpasangan dengan rantai α (CD11). Molekul CD11/ CD18 mengikat ligan termasuk intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Kemokin yang dilepaskan ke permukaan sel endotel akan berikatan dengan reseptor spesifik yang terdapat di permukaan neutrofil. Interleukin-8 memacu perubahan integrin (Abbas AK, 2012; Mizgerd JP, 2002). 18

  35. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? BAB III TERAPI PNEUMONIA Tujuan utama dari terapi pneumonia komunitas adalah eradikasi patogen penyebab, menghilangkan gejala, meminimalkan waktu perawatan dan mencegah infeksi berulang. Faktor komorbid dapat menjadi penyebab kegagalan pengobatan dan dapat meningkatkan risiko infeksi dengan mikroorganisme tertentu (PDPI, 2014). Pengobatan pneumonia terdiri atas antibiotik dan pengobatan suportif dan terapi antiinflamasi. 19

  36. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? A.Terapi Antibiotik Pemberian antibiotik pada penderita pneumonia sebaiknya didasarkan pada data mikroorganisme dan hasil uji kepekaan (Irfan M, et al, 2013). Terapi empiris dapat diberikan hingga didapatkan data mikro- organisme. Sebanyak 10% pasien pneumonia komunitas dalam perawatan di rumah sakit disebabkan oleh bakteri (Caballero J, et al, 2011). Pemilihan antibiotik secara empiris berdasarkan beberapa faktor yaitu jenis kuman penyebab berdasarkan pola kuman setempat, terbukti efektif, faktor risiko resisten antibiotik dan faktor komorbid. Terapi antimikroba harus dimulai sesegera mungkin setelah diagnosis pneumonia ditegakkan. Pasien pneumonia yang dirawat diberikan antibiotik dalam waktu 8 jam sejak masuk rumah sakit (< 4 jam akan menurunkan angka kematian) (PDPI, 2014). Karakteristik farmakokinetik dan farmako- dinamik antibiotik menentukan hasil dari terapi terhadap infeksi pernapasan. Pemberian antibiotik harus segera di mulai, dilanjutkan dengan total 7-10 hari pada pasien yang menunjukkan respons dalam 72 jam pertama. Pasien dengan pemberian antibiotik parenteral dapat diganti ke oral segera setelah ada perbaikan klinis. Antibiotik sesuai dengan bakteri patogen dapat diberikan setelah hasil kultur tersedia, jika bakteri gram (-) dicurigai sebagai kuman penyebab, pemberian antibiotik dapat dilanjutkan (sampai 21 hari) (PDPI, 2014). 20

  37. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? Pengobatan awal pada pneumonia komunitas tergantung pada hasil pemeriksaan fisik, hasil laboratorium dan faktor komorbid pasien (usia, penyakit kronik, riwayat merokok, riwayat penyakit). Pengobatan awal ditentukan untuk menentukan perlunya perawatan di RS atau tidak. Pengobatan empiris yang tepat dapat memperbaiki gejala klinis dan menurunkan biaya perawatan. Pemakaian antibiotik sebagai terapi empiris pneumonia komunitas berbeda pada beberapa negara. Pemakainan antibiotik untuk kuman atipik pada pasien pneumonia komunitas yang dirawat di rumah sakit dipakai sebagai pedoman terapi oleh Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Jepang dan Amerika Latin, sedangkan di negara lain hanya menggunakan golongan ß-laktam tanpa penambahan makrolid (BTS, 2009; Arnold FW, et al, 2007). B.Terapi Suportif Terapi suportif atau dapat juga disebut sebagai terapi simptomatik, tujuannya adalah untuk menghilangkan gejala pneumonia. Terapi suportif yang diberikan adalah sesuai dengan setting perawatan yang diberikan pada pasien tersebut. Pada pasien rawat jalan adalah dengan memberikan istirahat di tempat tidur, memberikan minum untuk mengatasi kemungkinan terjadi dehidrasi. Pemberian antipiretik apabila terjadi demam dengan suhu tubuh yang tinggi. Atau dapat juga dilakukan kompres misalnya dengan alcohol. Pada 21

  38. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? kasus dengan retensi dahak dapat diberikan mukolitik ataupun ekspektoran (PDPI, 2014). Pada rawat inap di bangsal pemberian terapi disesuaikan dengan gejala yang muncul. Misalnya terapi oksigen, terapi cairan dapat dilakukan dengan pemasangan infus. Pemasangan infus dapat juga dilakukan untuk antisipasi koreksi kalori atau elektrolit. Pada rawat inap di ruang intensif dilakukan pada kasus pneumonia berat atupun dengan penyeakit penyerta atau komplikasi yang berat. (PDPI, 2014). Terapi oksigen diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen 94- 98% pada penderita yang tidak disertai gagal napas hiperkapnik. Pengawasan keadaan umum dan tanda vital dilakukan sedikitnya dua kali perhari pada penderita pneumonia berat atau yang mendapat oksigen reguler. Pemeriksaan tanda vital antara lain: suhu, frekuensi napas, tekanan darah, status kesadaran, saturasi oksigen, dan konsentrasi oksigen inspirasi (Lim WS et al, 2009). C.Terapi Antiinflamasi Tujuan pemberian terapi antiinflamasi adalah untuk menekan respons inflamasi yang berlebihan dan berbahaya. Terapi antiinflamasi yang ideal adalah yang mampu mengurangi komplikasi respons inflamasi sistemik yang terlalu besar tanpa mengganggu proses resolusi inflamasi lokal. Beberapa pilihan terapi antiinflamasi yang kemungkinan dapat diberikan pada 22

  39. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? kasus pneumonia adalah kortikosteroid, statin, makrolid, toll like receptor antagonist (Meijvis SCA, et al, 2012) cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan non steroid anti inflammatory agents (NSAIDs). (Steel HC, et al, 2013). Terapi antiinflamasi lain yang pernah dilaporkan adalah Omega 3 fatty acid. Pemberian antiinflamasi Omega 3 fatty acidpada pneumonia komunitas terbukti mampu menurunkan PCT sebagai penanda infeksi karena mempengaruhi NFκβ menurunkan produksi sitokin inflamasi, Selain itu Omega 3 fatty acid juga mampu mempercepat perbaikan klinis (Prasetyo SE, et al, 2016). Pada makalah ini akan dilakukan penelitian terhadap beberapa antiinflamasi tersebut. 23

  40. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? 24

  41. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? BAB IV TERAPI ANTIINFLAMASI Respons inflamasi pada dasarnya merupakan mekanisme pertahanan host terhadap mikroorganisme patogen. Meskipun demikian inflamasi yang terlalu besar dapat mengancam jiwa terutama pada organ yang membutuhkan pertukaran gas. Keseimbangan respons inflamasi (antara pro dan antiinflamasi yang sulit dicapai) sangat dibutuhkan pada homeostasis paru. (Meijvis SCA, et al, 2012) 25

  42. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? Akibat repons inflamasi yang berlebihan, meskipun terapi antibiotik sudah tepat, akan tetap berbahaya. Pemberian terapi tambahan diharapkan dapat mengubah respons imun agar menjadi lebih menguntungkan sehingga dapat memperbaiki prognosis. Antibiotik dapat mempe- ngaruhi keseimbangan antara sistem pertahanan dan efek samping dari sistem imun yang berlebihan. Akibat kerja antibiotik yang efektif akan menyebabkan penurunan kebutuhan respons inflamasi, selanjutnya terjadi kedudukan yang seimbang dari proses inflamasi tersebut yang merupakan keberhasilan kombinasi pemberian antibiotik dan antiinflamasi (Meijvis SCA, et al, 2012). Pada makalah ini akan disampaikan terapi inflamasi yang mempunyai peluang untuk dapat digunakan pada praktik klinis yaitu kortikosteroid, statin dan golongan makrolid. A.Kortikosteroid Korteks adrenal menghasilkan berbagai jenis kortikosteroid seperti glukokortikoid, mineralkortikoid dan hormon androgen. Zat yang dihasilkan oleh korteks adrenal berperan dalam homeostasis, keseimbangan elektrolit dan perkembangan karakter seks. Pemberian terapi steroid mempengaruhi produksi endogen kortikosteroid dan memberikan efek supresif pada aksis hypothalamicpituitary adrenal. Korteks adrenal terdiri dari tiga zona yaitu zona glomerulosa yang berfungsi menghasilkan aldosteron atau mineralkortikoid, zona fasikulata berfungsi menghasilkan kortisol atau 26

  43. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? glukokortikoid dan zona retikularis menghasilkan androgen. Sekresi glukokortikoid dipengaruhi oleh adrenocorticotrophic hormone (ACTH) yang dihasilkan hipofisis anterior. Pelepasan ACTH dipengaruhi oleh corticotrophin releasing hormone (CRH) yang diproduksi oleh hipotamus. Kortisol memiliki umpan balik negatif terhadap ACTH dan CRH jika kadar kortisol meningkat sehingga terjadi penekanan terhadap ACTH. Kadar kortisol dalam darah paling tinggi pada pagi hari dibandingkan siang hari (Gupta P, et al: Rubin R et al). Mineralokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme elektrolit Na+ dan K+, yaitu menimbulkan efek retensi Na+ dan deplesi K+, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil, maka mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Sedangkan glukokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme glukosa, anti imunitas, efek neuroendokrinologik dan efek sitotoksik. Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau imunosupresif (Medchromeet al, 2011). Glukokortikoid sebagian besar berpengaruh pada sistem imunitas seluler. Gangguan sistem imunitas seperti berkurangnya kemampuan limfosit T, polimorfonuklear (PMN), makrofag, dan monosit dapat terjadi karena pemberian glukokortikoid. Glukokortikoid menghambat aktivasi, migrasi dan proliferasi dari limfosit T serta menurunkan produksi dari limfokin 27

  44. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? sehingga menrunkan produksi dari IL-1, IL-12, TNF-α dan interferon (IFN)-γ, selain terjadi disregulasi dari sel T helper (Th)-1 dan sel Th-2 yang menyebabkan gangguan fungsi sel fagosit. Glukokortikoid dapat menghambat NF-κβ dan activator protein (AP)-1 yang mengaktifkan transkripsi pada monosit dan makrofag (Lionakis et al, 2003). Glukokortikoid menekan peran PMN sebagai fagosit, antibodi dependent cytotoxicity, penurunan fungsi perlekatan pada endotel pembuluh serta degranulasi, dan kemotaksis. Penurunan pelepasan chemoattractant makrofagdan aktivasi dari endotel serta gangguan dari fungsi NF-κβ menyebabkan disfungsi migrasi PMN untuk menuju tempat inflamasi dan menghambat cytokine induced neutrophil chemoattractant/ growth related oncogene (CINC/gro). Selanjutnya akan melemahkan NF-κβ dapat menghambat ekspresi stimulus dari CINC/gro, intracellular adhesion molecule (ICAM)-1 dan molekul adhesi. Glukokortikoid menyebabkan pelepasan annexin-1 sehingga melemahkan lipocortin-1 yang merupakan mediator untuk mengaktifkan dan migrasi dari neutrofil (Lionakis M,et al, 2003). Keadaan normal jika terjadi cedera sel maka enzim fosfolipase A2 menstimulus fosfolipid membran sel untuk melepaskan asam arakidonat, selanjutnya dimetabolisme menjadi prostaglandin dan leukotrin (Katzung B, et al, 2006; Jenks K, et al, 2008; Lionakis M, et al, 2003). 28

  45. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? Glukokortikoid pada cedera jaringan menghambat sintesis fosfolipase A2 dan menstabilkan lisosom membran sel yang dapat menghambat pelepasan bradikinin, histamin dan zat lainnya yang berasal dari lisosom. Glukokortikoid mempunyai peran dalam menstabilkan membran lisososom sehingga mencegah fagolisosomal makrofag saat fagositosis. Penurunan regulasi dari NF-κβ menghambat pembentukan nitrit oksida oleh makrofag dan aktivasi dari reactive oxygen species (ROS) oleh PMN. Glukokortikoid juga mengganggu proses perbaikan jaringan dengan menghambat pembentukan kapiler, fibroblast, dan kolagen (Katzung B, et al, 2006; Jenks K, et al, 2008; Lionakis Met al, 2003). Senyawa glukokortikoid mempunyai potensi antiinflamasi dan efek pada sistem imun seluler berbeda pada setiap sediaan. Perbedaan terdapat pada interaksi antara kompleks reseptor glukokortikoid dengan senyawa glukokortikoid dan NF-κβ. Pemberian prednison, prednisolon, dan deksametason pada dosis ekuivalen memberikan efek pada penurunan jumlah limfosit, tetapi deksametason lebih mempengaruhi fungsi sitotoksik yang dimediasi oleh limfosit lebih dari 2 komponen. Metilprednisolon mempunyai potensi penekanan proliferasi dan sitotoksik limfosit lebih baik dari deksametason, tetapi potensi antiinflamasinya rendah. Deksametason menghambat sekresi sitokin sel Th-1 seperti IL-2 dan TNF-α serta sitokin proinflamasi 29

  46. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? seperti IL-6 lebih baik dari prednisolon (Meijvis SCA, et al, 2013). Perbedaan polimorfisme atau mutasi gen reseptor glukokortikoid mungkin menjelaskan dalam perbedaan respons pada setiap individu, seperti resisten terhadap glukokortikoid mempunyai mutasi germline spesifik pada gen reseptor glukokortikoid. Karier dengan gen polimorfisme N 363S pada reseptor glukokortikoid mempunyai peningkatan sensitifitas deksametason terhadap efek penekanan proliferasi limfosit (Lionakis Met al, 2003, Barnes P, 1998). 1.Mekanisme kerja glukokortikoid Mekanisme kerja glukokortikoid sintetik sama seperti kostrikosteroid alami atau endogen. Molekul obat berinteraksi dengan dengan reseptor protein spesifik pada jaringan target di dalam sitoplasma. Glukokortikoid dalam darah berikatan dengan globulin kemudian masuk ke dalam sitoplasma sebagai molekul bebas. Reseptor glukokortikoid intraseluler dalam keadaan stabil berikatan dengan heat shock protein (HSP) 90, kompleks reseptor ini tidak mampu mengaktivasi faktor transkripsi. Kompleks reseptor tersebut berikatan dengan molekul glukokortikoid menyebabkan ikatan molekul HSP 90 dengan reseptor tidak stabil dan molekul HSP 90 melepaskan ikatan dengan kompleks reseptor. Kompleks reseptor berikatan sempurna dengan glukokortikoid sehingga masuk menuju nukleus. Kompleks reseptor berikatan dengan 30

  47. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? glucocorticoid response element (GRE) pada gen deoxribonucleic acid (DNA). Proses transkripsi DNA oleh ribonucleic acid (RNA) polymerase 2 dan faktor transkripsi lainnya menghasilkan messenger ribonucleic acid (mRNA) kemudian menuju sitoplasma sehingga terjadi perubahan sintesis protein yang mengatur regulasi sebagian besar fisiologi tubuh. Proses mekanisme ini disebut jalur genomic (Jenks K, et al, 2008). Mekanisme lainya merupakan proses yang melibatkan protein dalam glucocorticoid responsive gen. Kompleks reseptor berinteraksi dengan NF-κβ sehingga sinyal dari NF- κβ terganggu karena penghambatan dari I-κβ kinase kemudian NF-κβ berikatan dengan DNA kemudian menstimulasi transkirpsi antagonis NF-κβ dan siklooksigenase 2 yang merupakan enzim untuk menghasilkan prostaglandin. Mekanisme lainnya tidak melibatkan jalur transkripsi gen (non genomic), tetapi melalui reseptor glukokortikoid pada membran sel. Glukokortikoid menstimulasi pembentukan phosphatidylinositol-3-hydroxykinase (PI3K) pada sel endotel sehingga mengaktifkan endothelial nitric oxide synthetase (eNOS) (Rhren T, et al, 2005). Mekanisme antiinflamasi glukokortikoid dapat terjadi melalui proses transkripsi gen atau non genomic. Gambar 4 menjelaskan mekanisme kerja kortikoseroid dalam sitoplasma. Sel tubuh mempunyai variasi tipe gen berbeda, keadaan ini menyebabkan efek berbeda 31

  48. PNEUMONIA: Adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? pada tergantung reseptor sel spesifik yang menjadi target kortikosteroid (Jenks K, et al, 2008). Gambar 4.1. Mekanisme kortikosteroid pada sitoplasma Keterangan: CBH: corticosteroid binding globulin ,DNA: deoxribonucleic response element, Hsp 90: heat shock protein 90, R: reseptor, mRNA: messenger ribonucleic acid. Dikutip dari (Rhren T, et al, 2005) acid, GRE: glucocorticoid 32

  49. PNEUMONIA: adakah tempat untuk pemberian antiinflamasi ? Kortikosteroid dosis rendah dapat menekan gen inflamasi. Gen inflamasi diaktifkan oleh rangsangan inflamasi, seperti IL-1β atau TNF-α, yang mengakibatkan aktivasi inhibitor I-κβ kinase (IKK)-2, dan mengaktifkan factor transkripsi NF- κβ. Sebuah dimer darip 50 dan p65NF-kB protein berpindah ke nucleus dan berikatan dengan specific κβ recognition sites serta koaktivators seperti CBP atau p300/ CBP activating factor (pCAF), yang memiliki aktivitas histone acetyltransferase (HAT) intrinsik. Ikatan ini menyebabkan asetilasi core histone H4, sehingga terjadi peningkatan ekspresigen yang mengkode beberapa protein inflamasi. Setelah aktivasi oleh kortikosteroid, GRS berpindah ke nucleus dan berikatan dengan ko activator suntuk menghambat aktivitas HAT langsung dan merekrut histonedeacetylase (HDAC)-2, yang akan membalik asetilasi histon sehingga menyebabkan penekanan gen inflamasi aktif (Barnes P, 2005). 2.Efek Antiinflamasi Deksametason pada Pneumonia Deksametason, seperti kortikosteroid lainnya memiliki efek anti inflamasi dan anti alergi dengan pencegahan pelepasan histamin. Deksametason merupakan salah satu kortikosteroid sintetis terampuh. Kemampuannya dalam menanggulangi peradangan dan alergi kurang lebih sepuluh kali lebih hebat dari pada yang dimiliki prednison. 33

More Related