1 / 2

Temanku Adik Ipar Bung Hatta

Temanku Adik Ipar Bung Hatta

tavita
Download Presentation

Temanku Adik Ipar Bung Hatta

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Temanku Adik Ipar Bung Hatta Bagaimana saya sampai di lingkungan dekat Bung Hatta? Pada sekitar tahun 1946 Ibu saya kambuh penyakit asmanya, karena beliau mengalami kejadian-kejadian yang mengguncangkan ketenteraman di Serang waktu itu. Waktu Ibu makin sakit, Ayah menyuruh Ibu, adik, saya, dan seorang pembantu setia untuk pulang ke Yogya, ke rumah Eyang Putri Mangundjojo. Demikianlah ibu dan kami sampai di Yogya, bermukim di ndalem Mangunjayan bersama keluarga kakak dan adik Ibu yang juga mengungsi dari Jakarta, Pekalongan, dan Bandung karena tidak tahan terhadap keadaan yang kurang aman di tempat masing-masing. Setelah beberapa bulan nganggur tidak bersekolah dan hanya meramaikan ndalem yang luas yang biasanya sepi, adik ibu memutuskan agar kami anak-anak “yang pada ngungsi” sekolah saja. Saya dimasukkan Tante di SM Putri Kotabaru yang lumayan jauh dari Mangunjayan, yang berlokasi di belakang Kerkop. Di hari pertama saya merasa sangat asing di kelas yang muridnya semua berbahasa Jawa dan melihat ke arah saya sebagai een vreemde eend in de bijt kata orang Belanda, atau itik asing di lingkungan. Tidak ada yang mengajak saya duduk di bangkunya! Menyebalkan, saya benar-benar ingin kembali ke SMP Salemba, atau SMP Serang sekali pun. Pada waktu saya sedang memikirkan nasib saya, tiba-tiba seorang gadis cantik, berambut hitam ikal masuk ke bangku saya dan tersenyum serta entah menyapa hampir bersamaan kami bertanya: “Spreek je Nederlandsch?” (Kamu berbicara Bahasa Belanda?). Sesudah mengangguk, kami langsung akrab dan saling menceritakan ihwal kami mengapa sampai di bangku SMP Putri Kotabaru di Yogyakarta dan saling bertanya di mana tinggal. “Saya di Reksobayan, kamu?”, tanya Titi, begitu nama gadis dari Bandung itu. “Saya di Mangunjayan,” jawab saya. Kami pun saling mengajak ke tempat tinggal masing-masing. Tante saya menanyakan di Reksobayan nomor berapa teman baru itu. Di nomor 4. Di rumah Wakil Presiden Bung Hatta? Wah! Titi sama sekali belum bercerita bahwa ia adiknya istri Bung Hatta, Nyonya Rahmi Hatta, dan tinggal di pavilyun dengan ayah-ibunya di kediaman resmi Wakil Presiden. Baru ketahuan waktu saya pertama kali ke Reksobayan 4 dan di”setop” pengawal. Sesudah interogasi singkat dan ternyata saya mau ke pavilyun saja karena teman Titi, saya pun dibiarkan ke arah pavilyun sambil diperintahkan, “Turun dari sepeda, ya!” Memang akhirnya lebih sering saya ke Reksobayan daripada Titi ke Mangunjayan karena mengayuh sepeda sepanjang Malioboro lebih enak daripada lewat jalan lain. Titi dan saya menjadi teman akrab dan kalau kami berdua masuk halaman dan tampak oleh Bung Hatta, maka beliau pun tersenyum dan kami mengangguk hormat. “Selamat siang, Bung Hatta”, salam saya dan “Selamat siang Kak Hatta”, kata Titi. Bahwa Bung Hatta mempunyai rasa humor yang tinggi, masih terbukti bertahun-tahun sesudah waktu remaja kami di Reksobayan 4 dan kami berdua Titi dan saya sudah bersuami dan mempunyai anak. Titi bermukim di Ankara dan Beograd sebagai istri Duta Besar Indonesia, Laksamana R. Subijakto yang juga KSAL pertama, dan saya mengikuti suami, Nazarudin Ganie di Amsterdam dan Duesseldorf. Selama itu pun hubungan persahabatan tidak pernah putus, sampai-sampai anak-anak kami pun ikut bersahabat.

  2. Pada suatu waktu Bung Hatta, tanpa membawa Mbakyu Hatta, datang ke Duesseldorf di mana kami bermukim. Oleh para pengusaha Indonesia di sana beliau dijamu makan resmi di kediaman seorang pengusaha. Meja ditata resmi dan kami pun dilayani oleh pelayan-pelayan Jerman berpakaian rapi jali. Sajiannya menu Jerman yang paling wahid. Saya mendapat kehormatan duduk dekat Bung Hatta. Di antara Bung Hatta dan saya duduk seorang yang penting. Tiba-tiba sesudah beberapa lama bersantap, orang yang duduk di samping kiri Bung Hatta bertanya heran: “Bung Hatta tidak suka roti, ya? Ini roti-roti enak sekali!”“Suka sekali”, jawab Bung Hatta dengan nada santai. “Lha mengapa tidak mengambil rotinya?” mendesak mitra semeja tadi terheran-heran. “Bagaimana bisa”, jawab Bung Hatta dengan nada datar tetapi tersenyum simpul, “Kalau Bung selalu mengambil roti saya?” dan beliau melihat ke arah saya dengan senyum lebar. Kami yang ada di keliling meja tidak dapat menahan tawa karena rupanya orang penting tadi tidak menguasai tata krama santap resmi internasional yang tata santapnya menentukan bahwa roti itu harus diambil dari piring kecil di sebelah kiri dan tidak dari sebelah kanan, yang pada kesempatan itu adalah tentunya “jatah” Bung Hatta, karena mitra semeja tadi duduk di sebelah kirinya. Karena rasa diplomatisnya yang tinggi, Bung Hatta tidak memberi komentar pada waktu orang yang duduk sebelahnya setiap kali enak saja mengambil rotinya! Tetapi dari tatapan mata di belakang kaca mata tampak bahwa Bung Hatta “very amused”. Senyum yang lebar pada Bung Hatta yang biasanya serius juga pernah saya lihat pada Bung Hatta di kesempatan lain. Di antara tamu -tamu pada suatu kesempatan resmi ada seseorang yang mengeluh agak keras dalam Bahasa Belanda dan mengatakan: “Ik ben moe” artinya “Saya lelah”, pernyataan yang sebenarnya sama sekali tidak boleh dikatakan di depan tamu-tamu penting apalagi di dekat Wakil Presiden Republik Indonesia. Rupanya ada tamu lain, seorang perempuan cantik yang sangat kurang “sreg” dengan pernyataan itu dan dengan tegas sambil menggoda, mengatakan juga di dalam Bahasa Belanda: “Zo, en wanneer wordt je pa?” Mendengar itu Bung Hatta tersenyum, dan kami di sekitarnya tertawa terbahak-bahak. Sebab pelesetan kata-kata dalam Bahasa Belanda, itu memang sangat tepat! “Moe” dalam Bahasa Belanda lapisan masyarakat bawah di Belanda dapat berarti “lelah”, akan tetapi juga dapat berarti ibu. Jadi kalau tamu tadi menatakan Ik ben moe bisa dipelesetkan menjadi “Saya adalah seorang ibu”. Komentar tajam perempuan yang cantik itu adalah “Zo, en wanneer wordt je pa?” yang berarti “Lalu, kapan Anda menjadi ayah?”, sebab usia pria tersebut sudah agak lanjut tetapi tetap belum beristri dan mempunyai anak! Pelesetan kata rupanya membuat Bung Hatta tersenyum lebar, yang membuktikan bahwa beliau dapat segera menangkap pelesetan kata dalam Bahasa Belanda. Suryatini N. Ganie, Pribadi Manusia Hatta, Seri 7, Yayasan Hatta, Juli 2002

More Related