1 / 17

Kecernaan In Vitro

Kecernaan In Vitro. Eko Widodo. Metode in vitro. Pengukuran kecemaan in vitro mrupakan penentuan kecemaan pakan yang dilakukan secara kimiawi di laboratorium dengan meniru proses pencemaan yang terjadi di dalam tubuh temak ruminansia (Van Soest, 1994).

soo
Download Presentation

Kecernaan In Vitro

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Kecernaan In Vitro Eko Widodo

  2. Metode in vitro Pengukuran kecemaan in vitro mrupakan penentuan kecemaan pakan yang dilakukan secara kimiawi di laboratorium dengan meniru proses pencemaan yang terjadi di dalam tubuh temak ruminansia (Van Soest, 1994). Penentuan kecemaan secara in vitro memiliki kelebihan, yaitu jumlah sampel yang diperlukan sedikit (0,5 g/tabung), biaya lebih murah, dapat menentukan kecemaan banyak sampel pakan dalam waktu yang relatif singkat (96 jam), dapat dipelajari proses fermentasi yang terjadi di dalam rumen dan aktivitas mikroba tanpa dipengaruhi oleh induk semang dan pakannya (Johnson, 1966 dan Church, 1879).

  3. Adapun menurut Ensminger (1978) kelebihan kecemaan in vitro adalah sampel yang digunakan sedikit, banyak sampel yang dapat dievaluasi secara bersamaan, kecemaan dapat segera diketahui karena waktu relatif pendek, terkontrol dan hasilnya mempunyai korelasi positif dengan kecemaan in vivo. Pengukuran kecemaan in vitro menurut metode Tilley dan Terry (1963) terdiri dari dua fase, yaitu: fase I pencemaan mikrobial dengan cairan rumen dan saliva buatan dalam kondisi anaerob selama 48 jam dan fase II pencemaan enzimatis dengan HC1 dan pepsin.

  4. Prinsip pengukuran kecernaan secara in vitro adalah suatu konsep yang praktis untuk meniru proses pencernaan yang terjadi di dalam rumen, abomasum dan usus halus, yaitu: - situasi an aerob - suhu 39°C - saliva buatan dari Mc.Dougall’s - pH 6,9 - 7,0 - cairan rumen yang berisi mikroba rumen - pemberian enzim pepsin - HCl - gerakan rumen - keadaan gelap (Van der Meer, 1980).

  5. Hasil kecemaan in vitro dipengaruhi oleh: • ukuran partikel, • jumlah sampel, • penanganan cairan rumen, • kondisi lingkungan saat inkubasi dan • larutan bufer

  6. Tilley dan Terry (1963) membagi proses pencernaan ruminansia secara in vitro atas 2 fase : 1. Fase pencernaan fermentatif (fase pertama). Pada fase pertama ini bahan pakan difermentasikan secara an aerob dalam cairan rumen yang merupakan sumber mikroba rumen dan larutan buffer yang merupakan saliva buatan, suhu sekitar 39°C, kisaran pH 6,9 - 7,0 selama 48 jam. Larutan penyangga fosfat-bikarbonat yangterdiri dari tiga larutan, yaitu : 46.5 gr Na3HPO4.H2O3 ; 49,0 gr NaHC03 ; 2,35 gr NaCI ;2,85 gr KC1 Kemudian dilarutkan dalam air sampai 1000 ml. Larutan 6 % MgCl2 . Larutan 4 % CaCl2

  7. Tempat sampel yang diinkubasikan atau fermentor dapat terbuat dari kaca atau polietilene. Pada fase fermentatif keadaan an aerob diusahakan dengan cara mengaliri gas CO2 (bubbling) dan ditutup rapat dengan penutup karet busen valve. Prinsip penutup bunsen valve ini sama dengan prinsip pentil pada ban sepeda yaitu hanya bias membebaskan udara di dalam tabung fermentor tapi udara luar tabung sendiri tidak bisa masuk.

  8. Mikroba rumen diperoleh dari cairan rumen, sedangkan saliva rumen yang mempunyai sifat sebagai bufer atau penyangga (menjaga keasaman) diperoleh dari larutan Mc.Dougall’s yang dibuat dengan komposisi dan sifat-sifat mirip saliva rumen. Adanya sifat buffer dari Mc.Dougall’s karena mengandung fosfat dan bikarbonat. Gerakan rumen ditiru dengan menempatkan sistem fermentasi dalam penangas air bergoyang (shaker water bath) yang bersuhu konstan 39°C atau dengan penggoyangan manual setiap 4 jam sekali. Tempat fermentasi selain penangas air bergoyang bisa juga digunakan oven yang bersuhu konstan 39°C.

  9. Sisa sampel bahan makanan yang tidak larut setelah proses fermentatif dan hidrolisis (endapan = residu) merupakan bahan makanan yang tidak tercerna. Dengan demikian selisih antara berat awal sampel dengan berat endapan yang tidak larut tersebut merupakan kecernaan suatu sampel yang diuji. Endapan terakhir dari proses pencernaan ini kemungkinan juga bukan hanya berasal dari sampel yang diuji saja tetapi juga berasal dari bahan-bahan lain seperti cairan rumen, Mc.Dougall’s dan sebagainya, maka dalam pengukuran koeffisien cerna perlu dikoreksi dengan menggunakan blanko.

  10. Yang dimaksud blanko adalah menyertakan dalam inkubator, fermentor tanpa sample yang diuji. Dengan cara ini maka nilai koefisien cerna yang kita peroleh lebih mendekati sebenarnya. Untuk lebih jelasnya : KCBK = KCBO =

  11. 2. Fase pencernaan hidrolitis (fase kedua). Pada fase kedua ini merupakan pencernaan hidrolisis atau enzimatis yaitu pencernaan oleh larutan HCl-pepsin pada kondisi aerob, suhu sekitar 39°C selama 48 jam. 2 gr pepsin (Merck. No.7190, 1 : 10.000). - 1 liter 0,1 M HC1

  12. Teknik riset evaluasi bahan pakan di dalam rumen secara • In vitro : • Sistim aliran kontinyu (continuous flow systems). • Pada sistim ini digunakan chemostat (continous culture fermentors) yang dilengkapi alat pemberi pakan dan pengeluaran produk-produk akhir yang teratur seperti keadaan di dalam rumen yang sesungguhnya (intact animal). Dengan demikian dapat menghitung secara kuantitatif proses mikrobial tertentu.

  13. Evaluasi pakan terhadap aktivitas mikroba di dalam rumen dapat disimulasi dengan baik apabila dilaksanakan pengontrolan yang ketat terhadap pasokan pakan, pembuangan produk akhir, pH, konsentrasi-konsentrasi garam, potensial redoks, laju agitasi dan sebagainya. Segi negatif alat ini kurang dapat diekstrapolasikan terhadap keadaan rumen sesungguhnya terutama dari segi absorpsi dan sintesis. Disamping itu sulit dilaksanakan untuk sejumlah contoh sekaligus.

  14. b. Sistim tertutup (closed system). Sistim ini mengunakan tabung fermentasi (fermentor) yang diisi bahan pakan tanpa pengeluaran produk-produk akhir kecuali gas-gas (terutama CO2). Alat ini berdesain sederhana dan mampu menentukan kecernaan sejumlah besar contoh pada setiap seri percobaan.

  15. c. Teknik kultur murni (pure culture techniques). Teknik ini diperlukan untuk mempelajari peranan mikroba rumen dalam tapak jalan metabolisme sebenarnya.

  16. C. Teknik kantong nilon (in sacco) Teknik ini menggunakan bahan kantong yang tidak dapat dicerna seperti nilon atau dakron yang diisi substrat untuk diketahui kecernaannya kemudian kantong diikat erat. Kantong tersebut diletakkan di dalam rumen ternak berfistula dan diambil setelah beberapa saat. Persentase substrat yang hilang di dalam kantong merupakan nilai kecernaan yang diuji.

  17. Faktor yang mempengaruhi: • Ukuran pori-pori • Ukuran dan jenis kantong • Ukuran partikel sampel • Jumlah sampel • Tempat dan waktu dalam rumen • Pakan ternak yang digunakan

More Related