1 / 25

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (LKMS)

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (LKMS). Identitas Mata Kuliah:. Mata Kuliah : LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (LKMS ) Komponen : Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK) Program Std : Muamalat Konsentrasi : Pilihan Prodi Muamalat Bobot Sk : 3 sks. Tujuan Mata Kuliah.

lucian
Download Presentation

LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (LKMS)

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (LKMS)

  2. Identitas Mata Kuliah: Mata Kuliah : LEMBAGA KEUANGAN MIKRO SYARIAH (LKMS) Komponen : Mata Kuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK) Program Std : Muamalat Konsentrasi : Pilihan Prodi Muamalat Bobot Sk : 3 sks

  3. Tujuan Mata Kuliah • Menjelaskan tentang Lembaga Perekonomian Umat dan Sejarah Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Indonesia; • Menjelaskan mekanisme operasional dan produk lembaga keuangan mikro syariah; • Menjelaskan LKMS dengan Bank Syariah dan Lembaga Keuangan Syaraih lainnya; • Menjelaskan regulasi dan kebijakan yang ada terkait LKMS; • Menganalisis urgensi dan peran LKMS bagi pemberdayaan ekonomi umat.

  4. TUJUAN MATA KULIAH

  5. Buku Rujukan:

  6. Lembaga Perekonomian Umat dan Sejarah Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Indonesia. • Pengertian Lembaga Keuangan Mikro: • Kriteria & Definisi-definisi menurut berbagai lembaga (lihat Excel file, Pengertian LKM & LKMS). • Dalam Ledgerwood (et.all), Lembaga Keuangan Mikro (LKM) atau lebih populer disebut microfinance didefinisikan sebagai “Penyedia Jasa Keuangan” bagi pengusaha kecil dan mikro serta berfungsi sebagai“alat pembangunan bagi masyarakat pedesaan”.

  7. Menurut Microcredit Sumit (1997) yang berlanjut pada Microcredit Summit di New York tahun 2002, kredit mikro adalah “Program” pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk “membiayai proyek yang mereka kerjakan” sendiri agar menghasilkan pendapatan yang memugkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self emplyoement project that generate income, allowing them to care for themselves and their families.” (Anonimous, kompas, “Microcredit Summit”, 15 Maret 2005. • Tohari (2003), LKM adalah lembaga yang memberikan “Jasa Keuangan” bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, dan informal yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal dan telah berorientasi pasar untuk tujuan bisnis.

  8. Dalam Draft RUU Nomor XXX tahun 2001 Tentang Keuangan Mikro dan Draft kedua Nomor XXX Tahun 2007 tentang Lembaga Keuangan Mikro didefinisikan sebagai “Badan Usaha Keuangan” yang menyediakan layanan “Jasa Keuangan Mikro”, tidak berbentuk bank, koperasi, serta bukan pegadaian tetapi termasuk Badan Kredit Desa (BKD) dan Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LKPD) yang tidak memenuhi persyaraan sebagai bank, selanjutnya disebut sebagai LKM Bukan Bank Bukan Koperasi (LKB B3K) atau selanjutnya disingkat LKM.

  9. Menurut Asian Development Bank (ADB), LKM (microfinance) adalah lembaga penyedia jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and lowincome households and their microenterprises). Bentuk LKM dapat berupa: 1). Lembaga formal seperti bank desa dan koperasi; 2). Lembaga semiformal misalnya organisasi non pemerintah; 3). Sumber-sumber informal, misalnya pelepas uang.

  10. Bank Indonesia mengidentifikasikan kredit mikro yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif, baik peroranganmaupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp 100 jt pertahun. Menurut BI, LKM dibagi menjadi 2 katagori, yaitu LKM berwujud bank serta LKM nonbank. LKM bewujud bank adalah: BRI Unit Desa, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Badan Kredit Desa (BKD). LKM yang berwujud nonbank adalah: Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Unit Simpan Pinjam (USP), Lembaga Dana Kredit Desa (LDKP), Baitul Mal wa at-Tamwil (BMT), Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), dan Credit Union (CU).

  11. Dengan demikian LKM berfungsi sebagai lembagayang menyediakan berbagai jasa pinjaman, baik untuk kegiatan produktif yang dilakukan Usaha Mikro, maupun untuk kegiatan konsumtif keluarga masyarakat miskin. Sebagai lembaga simpanan, LKM dapat menghimpun dana (saving) yang dijadikan prasyarat bagi adanya kredit walaupun pada akhirnya sering kali jumlah kredit yang diberikan lebih besar dari dana yang berhasil dihimpun. • Pinjaman Mikro dapat digunakan membantu UKM dalam mengakses sumber-sumber pembiayaan, dan karakteristik UKM dilihat dari aspek pendapatan lebih mendekati kelompok masyarakat yang dikategorikan miskin namun mendekati memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor) dan masyarakat berpenghasilan rendah (lower income).

  12. Menurut Marquiret Robinson (Robinson, Marguiret S., The Microfinance Revolution Sustainable Finance for the Poor, Vol. 1 {Woshington: The World Bank, D.C.; New York Open Society, 2002}),pinjaman dalam bentuk micro credit merupakan salah satu upaya ampuh dalam mengatasi kemiskinan. Menurutnya masyarakat miskin masih terdapat perbedaan klasifikasi yaitu: pertama, masyarakat sangat miskin (the extreme poor), yakni yang tidak berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif; kedua, masyarakat miskin tetapi memiliki kegiatan ekonomi (economically active working poor); ketiga, masyarakat berpenghasilan rendah (lower income), yakni masyarakat yang memiliki penghasilan meskipun tidak banyak.

  13. B. Sejarah Lembaga Keuangan Mikro. • Menurut Anne Booth (1998), dalam kurun waktu 1800 – 2000, bangsa Indonesia telah mengalami ujian krisis ekonomi, sosial, politik dan fisik dari waktu kewaktu secara beruntun. • Clifford Geertz (1963) dalm bukunya Agricultural Involution, Booth (1998) juga mengatakan, Indonesia (khususnya Jawa) pernah memperoleh peluang untuk “take-off” menuju pertumbuhan ekonomi tahun 1870 setelah dilakukan perubahan terhadap UU Agraria. • Tahun 1830 – 1870 diterapkan sistem ekonomi Komando, dimana rakyat tidak diberi kesempatan berkembang (undigineous economy). • Tahun 1870, telah berdiri dan beroperasi bank-bank rakyat (Voeks bankeur), bank desa, dan lumbung desa. • Tahun 1896, telah beroperasi “Hup-En Sparbank De Inlandische Bestuung Amstenaren” yang merupakan cikal bakal Bank Rakyat indonesia (BRI), (melalui PP.1/1946, tanggal 22 Februari 1946) yang sebelumnya adalah Bank Tani Nelayan.

  14. Tahun 1930, bank-bank ribawi ini mampu bertahan dari depresi dan mempunyai daya tahan tinggi. Hal ini karena obyek pemasaran perkreditannya adalah sektor Usaha Kecil dan Mikro, yang dalam aktivitas usahanya relatif bebas dari ketergantungan pada komponen produk asing. • Tahun 1975, KIK (Kredit Investasi Kecil) dan KMKP (kredit Modal kerja Permanen) merupakan jawaban Pemerintah untuk mengatasi kesenjangan kondisi perekonomian. Respon terhadap KIK/KMKP sangat besar, karena suku bunganya murah (KIK = 10,5%/tahun dan KMKP = 12%/tahun). Tingkat suku bunga ini sama dengan kredit untuk BIMAS untuk petani yang besarnya 1%/bulan, dan juga lebih rendah dari kredit pensiunan yang besarnya 18%/tahun. Sisi lainnya adalah persyaratan teknis perbankan lebih mudah, jaminan lebih diutamakan pada kegiatan usahanya (project collateral) dan memenuhi kriteria layak. • Tahun 1976 – 1982, jumlah nasabah KIK/KMKP meningkat rata-rata 48% untuk KIK dan 55% untuk KMKP. Sedangkan nilai kredit yang disetujui bank juga mengalami kenaikan rata-rata 47% untuk KIK dan 73,7% untuk KMKP.

  15. KIK/KMKP berkembang dengan dukungan Keppre No. 39 Tahun 1979, dan kebijakan lainnya untuk memacu golongan ekonomi lemah pribumi (Golek Pribumi) agar mampu bersaing dalam pembangunan. Posisi Golek Pribumi pada akhir 1981 baru mencapai 9% dari total kredit yang dikeluarkan pemerintah. • Golek Pribumi ini secara umum lemah sisi manajemennya, sedangkan bank lebih memposisikan sebagai lembaga keuangan komersial dari pada sebagai agen pembangunan. • Usaha pemerintah Orde Baru dalam pengentasan kemiskinan ditunjang pula oleh Kredit Keppres 14 A yang diperuntukkan Kredit Kelayakan Usaha (KKU) dengan persyaratan yang ringan dan bunga murah 6%/tahun. Program ini juga untuk Program Peningkatan Pendapatan Petani Kecil (P4K). Penilaian kredit bukan atas dasar agunan, tetapi atas dasar kelayakan usahanya (project collateral). • Awal tahun 1990, pemerintah melakukan deregulasi, yaitu setiap bank (kecuali bank asing) untuk menyalurkan kreditnya kepada pengusaha kecil sebesar 20% dari total kreditnya. Kebijakan ini dikenal dengan Paket Kebijakan Januari 29 (Pakjan 29), yaitu Paket 29 Januari 1990. Pakjan 29 dikeluarkan pemerintah karena data dan fakta menunjukkan bahwa KIK dan KMKP secara absolut meningkat, tetapi kontribusinya bila dibandingkan dengan total kredit perbankan pada tahun 1989 hanya 9,78%. Sedangkan pada tahun 1984 masih 16,83% terhadap total kredit perbankan.

  16. Tahun 1990, pada tahun ini telah mengenal Pola Hubungan Bank dengan “Kelompok Swadaya Masyarakat” atau dikenal dengan PHBK. Pada pelaksanaannya bank pemerintah yang melaksanakan kegiatan ini tingkat kemacetan kreditnya kecil, bahkan pada tingkat nasional kemacetan kredit dibawah 2% (Dr. Euis Amalia, M.Ag., “Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam”, 2009. hal. 65). • Rendahnya tingkat kemacetan kredit tersebut dikarenakan oleh tiga hal, yaitu: Pertama, kredit sesuai kemampuan, Cash flow sudah menjadi bahan pertimbangan; Kedua,kelompok merasakan keterikatan dan kebersamaan yang kuat dan mapan diantara sesama anggotanya; Ketiga, karena yang terlibat tidak banyak, hanya bank dan KSM saja sehingga tidak ada pengaruh birokrasi maupun tangan pihak-pihak lain.

  17. Sejak 29 Juni tahun 1994, mulai digalakan lagi kegiatan ekonomi melalui Perusahaan Modal Ventura (PMV) yang telah ada sejak tahun 1973 dengan sistem “penyertaan modal” kepada pengusaha kecil. Data statistik PMV yang ada di Indonesia berjumlah sekitar 40 perusahaan yang mendapat ijin operasi. Faktanya hanya beberapa PMV saja yang benar-benar beroperasi. • Dalam krisis moneter 1997 – 1999 daya tahan ekonomi rakyat kembali teruji. Kredit rakyat (kridit mikro) seperti BRI, BPR dan Pegadaian dapat bertaan dan berkembang untuk membiayai usaha ekonomi rakyat. Sebaliknya bank-bank modern banyak terlikuidasi (Madison, “Jurnal Ekonomi Rakyat”, dalam website www.ekonomirakyat.org.

  18. C. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Keuangan Mikro Syariah di Indonesia. C.1. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro: Kajian ilmiah microfinance masih langka. Yang banyak adalah tulisan tentang perbankan sebagai sumber pembiayaan (financing) bagi Pengembangan Usaha Kecil Mikro. -> Dalam penelitian Marguerite S. Robinson, The Microfinance Revolution, tahun 2002 terhadap Bank Rakyat Indonesia (BRI), dengan kajian teoritis dan empiris ditemukan bahwa salah satu pendekatan yang efektif untuk meningkatkan pendapatan masyarakat miskin adalah penyediaan Jasa Keuangan Mikro. -> Penelitian Asian Foundation dengan judul “ Microfinance Srvice in Indonesia: Survey of Institutions in 6 Provinces (2002), obyeknya adalah Lembaga Keuangan Mikro (microfinance) berupa bank dan Lembaga Keuangan nonbank. Fokus studi ini adalah: a). Evaluasi kapabilitas microfinance di Indonesia (efisiensi, sustainability, dan ability) terutama pengembangan layanan; b). Penetrasi pasar dari sisi supply dan demand, geografis, level sosial, gender, dan sektor ekonomi; c). Menilai tentang peluang dan kemampuan microfinance mengembangkan jaringan kelembagaan; d).Identifikasi persoalan yang dihadapi microfinance di Indonesia.

  19. -> Peneliti microfinance syariah di Indonesia, salah satunya adalah Awalil Rizky. Bekerja sama dengan PT Permodalan BMT telah melakukan penelitian terhadap sejumlah BMT di Jawa Tengah. Menurutnya, fakta yang menonjol dari BMT adalah keberhasilan penyaluran dana pembiayaan kepada anggota atau nasabah. Pihak-pihak yang tidak dapat terlayani perbankan (unbankable), ternyata dapata terlayani oleh BMT. BMT, menurutnya merupakan sebuah Lembaga Keuangan Profesional yang mampu menjangkau kelas ekonomi masyarakat palin bawah yang miskin dan nyaris miskin (poor dan near poor). -> Menurut Jannes Situmorang, kajiannya atas penelitian 74 BMT di sembilan propinsi yang berfokus pada kalembagaan dan keuangan, menunjukkan bahwa BMT merupakan sebuah Lembaga Keuangan Alternatif yang mampu menjangkau sektor mikro dalam pembiayaan modal kerja jangka pendek. Umumnya akad yang dilakukan adalah Bai’ Bi’tsaman Ajil (BBA) dan Murabahah, karena tingkat perputaran modal lebih cepat, risiko rendah, dan marjin keuntungan relatif besar. -> Penelitian yang dilakukan oleh Wuri Andriyani yang merupakan action research, yang bertema “Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah (UKM) melalui Legalitas Usaha. Legalitas yang dimaksud adalah: Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), yaitu merek, cipta, paten, dan desain serta soal Perijinan Usaha seperti antara lain Sertifikat Halal, ijin lokasi usaha, SIUP, NPWP, TDI/TDP, Kebadanusahaan. Legalitas Usaha untuk UKM, secara umum belum banyak yang dapat memenuhinya. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan biaya yang dikeluarkan untuk pengurusan legalitas tersebut. ->

  20. -> (lihat skema hal. 31), Dr. Euis Amalia M.Ag. “Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam”. C2. Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro Syariah: • Pada tahun 2009, Pemerintah indonesia menargetkan pembangunan kesejahteraan rakyat yang berdampak penurunan jumlah penduduk miskin manjadi 8,2%, dan pengangguran terbuka manjadi 5,1%. • Kebijakan ini memperkuat keberadaan Usaha Kecil dan Mikro (UKM) dan lembaga-lembaga penunjangnya, sehingga pengembangan lembaga ekonomi mikro semakin tumbuh. LKM-LKM terus berkembang, bahkan LKM-LKM dengan sistem syariah juga mulai tumbuh dan berkembang. • LKM-LKM dan LKM-LKM dengan sistem syariah, saat ini masih tergolong lembaga informal, sehingga masih memerlukan dukungan untuk dapat menjadi lembaga keuangan yang baik dan sehat.

  21. -> Kegiatan Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) pada dasarnya hampir sama dengan LKM konvensional. Yang membedakan adalah dalam hal akad dan traksaksinya, yaitu dengan sistem syariah yang tidak memperkenankan adanya bunga. • LKM sistem syariah ini diharapkan dapat menggantikan sistem konvensional yang bertumpu pada bunga. LKMS dapat mengembangkan bentuk-bentuk pembiayaan untuk usaha kecil dengan sistem cost plus dan profit sharing seperti: a). Jual-beli; b). Titipan (wadi’ah); c). Mudharabah; d). Musyarakah; e). Zakat; f). Jasa lainya. -> LKMS sebagai industri yang relatif baru berkembang namun mempunyai potensi berkembang yang besar karena Indonesia mayoritas penduduknya adalah muslim. Harapan dari perkembangan ini adalah Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun dirinya sendiri.

  22. -> Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008, tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, merupakan pintu masuk pada industri keuangan Syariah di Indonesia bagi dunia Internasional. Hal ini ditandai dengan banyaknya bank asing di Indonesia yang telah mempunyai Unit Usaha Syariah (UUS) yang berupa bank syariah, contoh: CIMB Niaga dengan UUS CIMB Niaga Syariah; HSBC dengan UUS HSBC Syariah; Danamon yang sahamnya dimiliki oleh Singapura juga telah menghadirkan UUS Danamon Syariah. Selain itu bank-bank Nasional mulai berlomba untuk mendirikan UUS bank Syariah, diawali dengan Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah, BRI Syariah, Bukopin Syariah, dan lain-lain.

  23. LKMS BMT merupakan ujung tombak dari penyaluran investasi bank syariah pada segmen masyarakat paling bawah yang memliki kemampuan produktif. Pengembangan Program Linkage antara bank syariah dengan LKMS, seperti BPRS dan BMT sebaiknya dikombinasikan secara sinergi dengan lembaga-lembaga keuangan sosial seperti institusi Zakat dan Wakaf untuk menopang perluasan sektor riil dan UKM. • LKMS BMT merupakan mitra terbaik bagi segmen UKM. Dengan penerapan sistem syariah, maka dalam menjalankan usahanya tidak ada pihak lain yang dirugikan (win-win solution). Bila ada dukungan permodalan dari sektor perbankan syariah maka keberadaan LKMS BMT akan semakin kuat permodalannya, sehingga kelangsungan usahanya bermitra dengan UKM akan dapat berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Pada akhirnya dapat mengurangi kemiskinan secara bertahap, sesuai dengan kemajuan UKM.

More Related