1 / 14

Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA ) : Studi Kasus Sektor Kehutanan

Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA ) : Studi Kasus Sektor Kehutanan. Hariadi Kartodihardjo Yogjakarta, 10 September 2013. T u j u a n.

jaeger
Download Presentation

Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA ) : Studi Kasus Sektor Kehutanan

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam (SDA):Studi Kasus Sektor Kehutanan Hariadi Kartodihardjo Yogjakarta, 10 September 2013

  2. T u j u a n • Memetakan permasalahan regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia khususnya terkait sistem perizinan di sektor kehutanan. • Memetakan titik-titik rawan korupsi dan modus korupsi dalam proses pemberian ijin kehutanan dan mengidentifikasi akar masalahnya. • Mengidentifikasi dampak dari kelemahan regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia khususnya terkait sistem perizinan di sektor kehutanan. • Menyusun rekomendasi untuk mengatasi akar permasalahan berkaitan dengan regulasi, kebijakan dan business process pengelolaan sumberdaya alam (SDA) khususnya sistem perizinan di sektor kehutanan.

  3. Metodologi • Korupsi disebabkan oleh peraturan-perundangan dan institusi, budaya dan perilaku, lemahnya pengendalian (ARCR-Korea); • Variable CIA—pendekatan supply-demand-process dan mencari akar masalah dari sisi hukum dan regulasi/peraturan (ARCR-Korea); • Pendekatan institusional yang lain menganggap korupsi mempunyai institusi dan komunitas tersendiri (extra legal) yang berjalan dengan menggunakan sarana legal (Robbin, 2000). Paul Robbins, 2000. The rotten institution: corruption in natural resource management. Political Geography 19 : 423–443

  4. Referensi terkait Korupsi Kehutanan • Transparancy International. 2010. Analysing Corruption in the Forestry Sector: A Manual for risk assesment of corrupt practices and risk management through monitoring for anti corruption instrument. Berlin. Germany. • Callister., D.J. 1999. CORRUPT AND ILLEGAL ACTIVITIES IN THE FOREST SECTOR: Current Understandings and Implications for the World Bank Background Paper for the 2002 Forest Strategy. • Callister, D.J. 1992. Illegal Tropical Timber Trade: Asia-Pacific. TRAFFIC International, Cambridge. • Contreras-Hermosilla, A. 1997. Country sector planning, Proceedings of the XI World Forestry Congress, Volume 5:279–284. • Krishnaswamy, A. & Hanson, A. 1999. Summary Report: World Commission on Forests and Sustainable Development. World Commission on Forests & Sustainable Development, Winnipeg. • de Bohan, V., Doggart, N., Ryle, J., Trent, S. & Williams, J. 1996. Corporate Power, Corruption and the Destruction of the World’s Forests. Environmental Investigation Agency, London. • Human Rights Watch , 2009. “Wild Money”The Human Rights Consequences of Illegal Logging and Corruption in Indonesia’s Forestry Sector. Human Rights Watch. United States of America. Memberikan pengetahuan awal tentang penyelah-gunaan wewenang dan korupsi kehutanan sbb:

  5. Identifikasi Penyalah-gunaan Wewenang • Kebijakan umum • Membuat kebijakan untuk pemusatan power (timber baron) • Membuat kebijakan untuk keuntungan pihak tertentu (rent-seizing) • Suap-peras untuk pengesahan akuntasi publik perusahaan • Pemberian Izin • Suap-peras untuk memperoleh izin (peta, rekomendasi, penetapan) • Petugas mengurus izin untuk kolega/familinya • Pelaksanaan Izin • Suap-peras untuk mendapatkan pengesahan penebangan, penebangan di luar blok-di lokasi terlarang, jumlah melebihi AAC, perpanjangan izin • Suap-peran untuk kesalahan hitung dan ukur hasil hutan • Perdagangan Hasil Hutan • Suap-peras untuk kelancaran angkutan kayu • Suap-peran untuk memperoleh sertifikasi hasil hutan

  6. Identifikasi Korupsi Besar dan Kecil • Besar: perusahaan menyuap politisi-pejabat-tentara senior, untuk: • Mendapat dan memperpanjang konsesi • Mempengaruhi besarnya pajak, tarif, iuran • Menghindari tuntutan dalam pengadilan Pejabat tinggi berbuat sama untuk kepentingan kelompok/familinya • Kecil: perusahaan menyuap pegawai tingkat rendah untuk: • Ukuran volume dan jenis kayu • Pengesahan berbagai kegiatan teknis manajemen hutan • Perjalanan perdagangan log dan hasil hutan • Penyalahgunaan dokumen tata usaha kayu

  7. Jenis Suap Menurut Pope, J. (Ed). 1996. The TI Source Book. Transparency International, Berlin. • Suap untuk mendapat manfaat langka dan menghindari biaya (mendapat konsesi); • Suap untuk mendapat diskresi yang menguntungkan (menghindari/memperkecil pembayaran pajak); • Suap untuk layanan cepat atau informasi “di dalam” (mendapat izin); • Suap untuk mencegah kompetitor mendapat untung atau membuat kompetitor menambah biaya (membayar aparat untuk menggeledah pabrik kompetitor).

  8. Faktor Penyebab Korupsi menurut Tanzi, V. 1998. Corruption around the world: causes, consequences, scope and cures, IMF Staff Papers, 45(4):559–594. • Langsung: • Peraturan, izin dan pengesahan. • Regime pajak dan biaya administrasi. • Keputusan belanja publik. • Penetapan harga barang, jasa, sumberdaya di bawah harga pasar. • Diskresi termasuk: penetapan insentif pajak, penggunaan hutan/tanah; pengesahan izin; keputusan terkait monopoly kegiatan import, export atau perdagangan dn industri. • Kebutuhan memberi dana bagi partai politik. • Tidak Langsung: • Kualitas birokrasi. • Tingkat upah/gaji pegawai. • Sistem sangsi/hukuman. • Kontrol institusi : efektivitas supervisi, kebebasan press/media; efektif audit prosedur, aturan mengenai perilaku etis, keberadaan unit kerja anti-corruption. • Hilangnya transparansi. • Kurangnya contoh dari pimpinan.

  9. Izin dan Pelaksanaan Izin 1 2 3 CIA-ARCR/Korea Diskursus-Aktor- Kepetingan (IDS, 2006 dimodifikasi) Teori Akses/ Web of power (Ribot-Peluso, 2003)

  10. 1 Variable—Corruption Impact Assesment

  11. Variable—Corruption Impact Assesment Diskursus-Aktor-Kepetingan (IDS, 2006 dimodifikasi) 2

  12. Seberapa besar peluang peraturan dapat diubah (IDS, 2006) 2 Bagaimana peraturan dibuat dan oleh siapa (ide dasar isi peraturan)? Bagaimana pandangan lain dapat mendukung isi peraturan itu? Lingkungan kunci apa, konteks dan pengaruh personal atau jaringan yang paling berpengaruh? Bagaimana masalah didefinisikan dan teori/konsep khusus digunakan? Apakah ada pihak-pihak tertentu (donor, perguruan tinggi, LSM) yang ikut bersama membuat peraturan itu? Suara siapa yang digunakan dan siapa yang ditolak?

  13. Hubungan Birokrasi dan Jaringan Power di Luarnya (Ribot-Peluso, 2003) 3 • Mendalami hasil kajian integritas pelayanan publik (KPK, 2012) untuk mengetahui: • Faktor terlemah dalam pengalaman dan potensi integritas; • Menghubungkan antara jawaban dan karakteristik responden. • Wawancara (snow ball): • Faktor tingginya gratifikasi dan pengaruh jaringan kekuasaan; perlu tidaknya perantara; kegiatan utama diperlukan gratifikasi; perkembangan gratifikasi (waktu dan besaran); tipe jaringan yang digunakan; sumberdaya jaringan; cek referensi..

  14. Waktu Pelaksanaan • Pengumpulan data dan informasi • Analisis data dan informasi • FGD • Penyusunan laporan • Diseminasi hasil kajian • September sampai awal Oktober • Oktober sampai awal November • Awal November • November • Desember

More Related