1 / 11

FIQH MUAMALAH (4)

FIQH MUAMALAH (4). A. AL-WADI’AH ( Depository ). 1.Pengertian: a. Secara etimologi berarti “meninggalkan”, karena barang yang dititip ditinggal di pihak yang tempati menitip. b. Secara terminologi :

Download Presentation

FIQH MUAMALAH (4)

An Image/Link below is provided (as is) to download presentation Download Policy: Content on the Website is provided to you AS IS for your information and personal use and may not be sold / licensed / shared on other websites without getting consent from its author. Content is provided to you AS IS for your information and personal use only. Download presentation by click this link. While downloading, if for some reason you are not able to download a presentation, the publisher may have deleted the file from their server. During download, if you can't get a presentation, the file might be deleted by the publisher.

E N D

Presentation Transcript


  1. FIQH MUAMALAH (4) A. AL-WADI’AH (Depository). 1.Pengertian: a. Secara etimologi berarti “meninggalkan”, karena barang yang dititip ditinggal di pihak yang tempati menitip. b. Secara terminologi: Hanafiah: al-wadi’ah adalah suatu amanah yang ditinggalkan untuk dipeliharakan kepada orang lain (Ibrahim Abi, Lisan al-hukkam (273)) Malikiah: al-wadi’ah adalah suatu harta yang diwakilkan kepada orang lain untuk dipeliharakan (Ahamd An-Nafrawi, Al-Fawakih ad-dawani (2/162)) Syafi’iah: al-wadi’ah adalah sesuatu harta benda yang disimpan ditempat orang lain untuk dipeliharakan (AnNawawi, Raudhah ath-talibin (6/324)) Hanabilah: suatu harta yang diserahkan kepada seseorang untuk memeliharanya tanpa adanya ganti rugi (al-Bahwati, Sayarah Muntaha al-iradat (2/352)) Ulama Fiqh Kontemporer: al-Wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya (Lihat: Sayed Sabiq: Fiqhus Sunnah(). fiqh muamalah (4)

  2. 2. Landasan syariah dalam praktik al-wadi’ah adalah: (a) Al-Quran: • (QS. An-Nisa: 58: (Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya); • QS. Al-Baqarah: 283: (Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya). (b) Al-Hadits: • HR. Abu Daud: (Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khiyanat kepada orang yang telah menghianatimu). Hadits tersebut menurut At-Turmuzi adalah hadits “hasan”sedang Imam Al-Hakim mengkategorikan sebagai hadits sahih. • HR. At-Thabrani, diriwayatkan: Ibn Umar berkata bahwa Rasulullah telah bersabda: Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tidak bersuci). (c) Al-Ijma’ (Konsensus): Para tokoh ulama sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (consensus) terhadap legitimasi al-wadi’ah, karena kebutuhan manusia terhadap hal tersebut jelas terlihat. (Lihat: Ibn Qudamah dalam Al-Mughni dan Imam As-Sarkhasi dalam Al-Mabsuth). fiqh muamalah (4)

  3. 3. Rukun Al-Wadi’ah: • Menurut Hanafiah: Rukun wadi’ah menurutnya hanya satu, yaitu adanya pernyataan kehendak (sighat:ijab (ungkapan kehendak menitipkan barang dari pemiliknya) dan qabul(ungkapan kesiapan menerima titipan tersebut oleh pihak yang dititipi). • Namun menurut Jumhur ulama Fiqh: Rukun wadi’ah ada tiga: (1) ada pelaku akad (العاقدان); (2) barang titipan; dan (3) pernyataan kehendak (sighat ijab dan qabul) baik dilakukan secara lafad atau hanya tindakan. 4. Syarat Al-Wadi’ah: • Syarat wadi’ah menurut Hanafiah adalah pihak pelaku akad disyaratkan harus orang yang berakal, sehingga sekalipun anak kecil namun sudah dianggap telah berakal dan mendapat izin dari walinya, akad wadi’ahnya dianggap sah. • Jumhur mensyaratkan dalam wadi’ah agar pihak pelaku akad telah balig, berakal dan cerdas, karena akad wadi’ah mengandung banyak resiko, sehingga sekalipun berakal dan telah balig namun tidak cerdas menurut Jumhur akad wadi’ahnya tidak dianggap sah. fiqh muamalah (4)

  4. Pada prinsip dasarnya, pihak penerima simpanan adalah yad amanah (tangan amanah) yang berarti bahwa “ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama bukan dari akibat kelalaian atau kecerobohannya dalam memelihara barang titipan tersebut”. • Namun pada era perekonomian modern, tidak mungkin si penerima titipan tersebut akan meng-idle-kan asset tersebut, melainkan akan menggunakan dalam aktifitas perekonomian tertentu. Sekalipun tetap disyaratkan agar ia meminta izin kepada pihak penitip barang tersebut untuk kemudian menggunakannya. • Dalam kondisi seperti ini, al-wadi’ah tidak lagi berarti yad amanah tapi berobah menjadi yad dhamanah (tangan penanggung), yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut. fiqh muamalah (4)

  5. Skema al-wadi’ah yad al-amanah: NASABAHTitipan Barang BANK Muwaddi’Mutawadda’ (Penitip)(Penyimpan) Beban Biaya Penitipan Pada skema di atas, pihak yang menerima titipan tidak boleh menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Tapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat saja membebankan biaya penitipan kepada penitip. fiqh muamalah (4)

  6. Skema al-wadi’ah yad adh-dhamanah NASABAH 1. Titip Dana BANK Muwaddi’ Mutawadda’ (Penitip) 4. Beri Bonus (Penyimpan) 2. Pemanfaatan dana 3. Bagi Hasil USER OF FUND (Dunia Usaha) Dalam skema dia atas, adalah “al-wadi’ah yad adh-dhamanah”, bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan al-wadi’ah untuk tujuan giro (current account) dan tabungan berjangka (saving account). Sebagai konsekuensi dari dari yad adh-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi hak bank, demikian juga sebaliknya, pihak bank akan bertanggung jawab atas seluruh kemungkinan kerugian. Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap hartanya. fiqh muamalah (4)

  7. Bank yang berstatus sebagai penerima dan sekaligus pengguna titipan dengan memanfaatkan dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacan insentif berupa bonus dengan catatan hal itu tidak menjadi syarat sebelumnya dan jumlahnya juga tidak ditentukan dalam nominal atau persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manjemen bank. Dalam hal ini, Abu Rifai’ pernah meriwayatkan hadits Rasulullah: Beliau pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Diberinya unta kurban (berumur + 2 tahun), setelah selang beberapa waktu Rasulullah memerintahkan kepada Abu Rifai’ untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, akan tetapi Abu Rifai’ kembali menghadap kepada Rasulullah dan berkata:Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang lebih besar dan berumur empat tahun, Rasulullah menjawab: Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar). • Dewasa ini telah banyak bank Islam yang telah berhasil mengkombinasikan antara sistem transaksi al-wadi’ah dengan sistem transaksi mudharabah, sehingga dalam kombinasi tersebut dewan direksi menentukan besaran bonus dengan menetapkan persentase dari keuntungan yang dihasilkan oleh dana al-wadi’ah dalam satu periode tertentu. fiqh muamalah (4)

  8. FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL (DSN) TENTANG DEPOSITO DSN menetapkan: 1. Deposito ada dua macam: • Deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah yaitu deposito yang berdasarkan perhitungan bunga. • Deposito yang dibenarkan, yaitu deposito yang berdasarkan prinsip mudhrabah. 2. Ketentuan umum Deposito berdasarkan mudharabah: • Dalam transaksi ini, nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana. • Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain. • Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang. fiqh muamalah (4)

  9. d. Pembagian keuntungan harus dinyyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening. e. Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya. • Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan. Fatwa tersebut didasarkan atas: • QS. An-Nisa: 29: (Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela di antaramu…) • QS. Al-Baqarah: 283: (Maka jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah…) • QS. Al-Maidah: 1: (Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad (janji-janji itu…) fiqh muamalah (4)

  10. d. HR. At-Tabrani(290) dari Ibn Abbas: Abbas bin Abdul Muttali saat menyerahkan harta sebagai muudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak, jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membernrkannya). (Perawi hadis ini terdapat Abu Garud al-a’ma, yang hadisnya tidak diterima karena dianggap ppembohong, sehingga dianggap hadis tersebut lemah (Ali Al-Haitsami, Majma’ az-awaid (4/161) e. HR. Ibn Majah (2289) dari Shuhaib: (Nabi bersabda: ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muuqaradhah (mudharabah) danmencapur gandum dengan jewawut (makaroni) untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual). f. HR. At-Turmuzi(135), Abu Daud (3594), Ibn Majah (2353) dari Amr bin ‘Auf: Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram). fiqh muamalah (4)

  11. g. Ijma’: Sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tidak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah, Fiqh al-Islam (4/838). h. Qiyas: Transaksi Mudharabah diqiyas-kan kepada transaksi musaqah. • Kaidah Fiqh: الأصل في المعاملات الإباحة حتى يدل الدليل على تحريمها (Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). y. Para ulama menyatakan bahwa dalam kenyataan banyak orang yang mempunyai harta namun tidak mempunyai kepandaian dalam usaha memproduktifkan; sementara itu, tidak sedikit pula orang yang tidak memiliki harta kekayaan namun ia mempunyai kemampuan dalam memproduktifkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kerjasama di antara kedua pihak tersebut. fiqh muamalah (4)

More Related